Kuah Beulangong Jejak Rasa, Tradisi, dan Kebersamaan dari Tanah Rencong

Advertorial13 Dilihat

aksarakata.id – Di tengah pesatnya arus modernisasi yang mengubah wajah kuliner Nusantara, Aceh tetap mempertahankan sejumlah hidangan tradisional yang tidak sekadar memanjakan indera perasa, tetapi juga memuat nilai kebudayaan yang kuat. Salah satu yang paling menonjol adalah kuah beulangong, masakan berkuah khas Aceh yang dikenal sebagai simbol gotong royong, solidaritas, dan rasa persaudaraan masyarakat setempat. Di berbagai daerah dalam Provinsi Aceh, terutama Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara, kuah beulangong tidak hanya dihidangkan sebagai makanan; ia merupakan peristiwa sosial yang menyatukan warga dalam momen-momen penting.

Kuah beulangong secara tradisional dimasak dalam sebuah beulangong, yakni kuali besar berbahan logam yang menjadi ikon dari proses memasak hidangan ini. Biasanya, proses memasak dilakukan secara bergotong royong oleh kaum laki-laki di desa. Dimulai sejak pagi hari, mereka mempersiapkan bahan utama seperti daging sapi atau daging kambing, lengkap dengan kelapa sangrai, cabai, kunyit, lengkuas, jahe, dan aneka rempah lain yang menjadi karakter kuliner Aceh. Jika daging sapi dominan di wilayah pesisir, beberapa gampong di Aceh Besar lebih memilih daging kambing atau kerbau, bergantung pada ketersediaan bahan dan tradisi setempat.

Proses memasak kuah beulangong sendiri bukan sekadar kegiatan dapur, melainkan ritual kolektif. Saat rempah mulai menguar dan asap dari beulangong perlahan mengisi udara, percakapan hangat antarwarga pun mengalir. Anak muda membantu menyiapkan kayu bakar, para tetua memberi arahan tentang takaran bumbu, sementara yang lain memastikan api terus stabil selama berjam-jam. Di banyak tempat, ada keterampilan tersendiri dalam mengatur nyala api sehingga kuah tidak terlalu mendidih namun cukup panas untuk melunakkan daging serta mematangkan bumbu secara merata. Keahlian ini diwariskan lintas generasi, menjadikan kuah beulangong bagian dari identitas kuliner sekaligus penanda kebijaksanaan lokal.

Dari sisi cita rasa, kuah beulangong menghadirkan kombinasi rasa gurih, pedas, dan sedikit smokey yang berasal dari proses memasak menggunakan kayu bakar. Kelapa gongseng atau kelapa sangrai yang dihaluskan memberikan tekstur kental sekaligus aroma khas yang tidak ditemukan pada masakan berkuah lainnya. Dalam beberapa variasi, ditambahkan pula daun pepaya atau nangka muda sebagai pelengkap. Bahan-bahan ini tidak hanya memperkaya komposisi rasa, tetapi juga melambangkan kesediaan masyarakat untuk memanfaatkan hasil bumi setempat secara optimal.

Kuah beulangong biasanya hadir dalam momen-momen tertentu: kenduri maulid, acara selamatan kampung, perayaan hari besar Islam, hingga kegiatan sosial seperti gotong royong pembangunan meunasah. Dalam setiap acara tersebut, kehadiran kuah beulangong berfungsi sebagai penanda bahwa komunitas setempat sedang berbagi rezeki, kebahagiaan, dan kebersamaan. Tidak jarang, porsi yang dimasak mencapai puluhan kilogram daging karena hidangan ini diperuntukkan bagi ratusan tamu atau seluruh warga desa.

Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir, kuah beulangong mulai mendapat tempat di panggung kuliner nasional. Di sejumlah festival makanan tradisional, hidangan ini diperkenalkan sebagai kuliner warisan Aceh yang kaya teknik dan cerita. Beberapa chef muda Aceh bahkan mencoba memodifikasi penyajiannya dengan pendekatan kuliner modern, seperti plating yang lebih ringkas atau penggunaan potongan daging premium. Meski demikian, sebagian besar masyarakat Aceh tetap berpegang pada prinsip bahwa esensi kuah beulangong tidak berada pada presentasinya, melainkan pada proses memasaknya yang mengedepankan kebersamaan.

Di tengah perkembangan tersebut, muncul tantangan untuk memastikan bahwa tradisi memasak kuah beulangong tetap lestari. Urbanisasi menyebabkan semakin banyak anak muda merantau dan jarang terlibat dalam kegiatan memasak massal seperti ini. Sebagian tetua kampung mengkhawatirkan hilangnya pengetahuan tentang komposisi bumbu atau teknik mengolah daging dalam skala besar. Namun begitu, sejumlah komunitas budaya dan organisasi pemuda di Aceh kini mulai mengadakan workshop dan festival kuah beulangong untuk mengenalkan kembali tradisi ini kepada generasi muda. Upaya tersebut menunjukkan bahwa kuah beulangong tidak hanya dipandang sebagai makanan, tetapi juga aset budaya yang perlu diwariskan.

Pada akhirnya, kuah beulangong adalah bukti bahwa makanan dapat menjadi representasi utuh dari sebuah masyarakat: rasa, sejarah, nilai sosial, dan identitas melebur di dalamnya. Setiap sendok yang disantap tidak hanya mengantarkan sensasi kuliner khas Aceh, tetapi juga menghadirkan cerita tentang kerja sama, kemurahan hati, dan rasa saling peduli yang mengikat sebuah komunitas. Dalam dunia yang semakin individualistis, kuah beulangong berdiri sebagai pengingat bahwa kehangatan dan solidaritas dapat tumbuh dari sebuah kuali besar yang mengepul di halaman meunasah.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *