aksarakata.id – Pada senja yang merayap turun di Pulau Breuh, salah satu gugusan kecil Pulo Aceh, angin laut membawa aroma asin dan suara debur ombak yang bersahutan. Di sebuah balai kayu sederhana, sekelompok pemuda duduk berbaris rapat, bahu bertemu bahu. Sorot mata mereka fokus, wajah-wajah muda itu memancarkan semangat yang seakan diwariskan dari para leluhur. Begitu seorang syahi (pembawa syair-red) menaikkan suara, suasana berubah. Tubuh-tubuh itu mulai bergerak serentak, menepuk dada, paha, dan bahu dengan ritme yang terukur namun penuh tenaga.
Inilah Likok Pulo, kesenian khas Pulo Aceh yang bukan sekadar tari, melainkan simbol identitas dan ketahanan budaya sebuah masyarakat pesisir di ujung barat Nusantara.
Tak ada naskah resmi yang mencatat kapan tepatnya Likok Pulo lahir. Namun, para tetua di pulau percaya, tarian ini berkembang dari tradisi dikee, rapa’i, dan kesenian Islam lokal yang dibawa para ulama berabad-abad silam. Ia tumbuh bersama denyut kehidupan nelayan, mengiringi doa syukur atas laut yang memberi makan, sekaligus menjadi hiburan seusai hari panjang memancing di perairan Samudra Hindia.
Likok Pulo adalah memori kolektif. Ia tidak hanya menceritakan masa lalu, tetapi juga menggambarkan watak masyarakat pulau: kuat, kompak, dan penuh tawa. “Orang pulau hidup saling menopang,” kata salah seorang tetua. “Dalam tarian ini, kau bisa lihat bagaimana kami bergerak sebagai satu tubuh.”
Filosofi yang Tak Lekang
Berbeda dari banyak tarian yang menonjolkan keluwesan tubuh, Likok Pulo justru dilakukan sambil duduk. Para penari merapatkan lutut dan bahu sehingga tidak ada ruang yang terbuang. Posisi ini membuat setiap hentakan tubuh terdengar seperti gemuruh kecil—simbol persatuan yang ritmis.
Ketika pertunjukan dimulai, tempo gerakan pelan. Penonton bisa menikmati tiap lirik yang dilantunkan syahi: petuah untuk hidup rukun, ajakan mengingat Tuhan, bahkan humor-humor lokal yang membuat penonton tersenyum simpul.
Namun, beberapa menit kemudian, tempo meningkat. Tepukan semakin cepat, kepala bergerak seirama, tubuh penari bergoyang mengikuti ritme yang kian intens. Inilah puncak Likok Pulo: semacam turbulensi indah yang tetap terkendali, memadukan ketahanan fisik dan kekompakan kelompok.
Di sela hentakan yang cepat itu, para penari kadang melempar ekspresi lucu, mengundang tawa penonton. Keceriaan adalah bagian tak terpisahkan dari tarian ini—refleksi dari masyarakat pulau yang sederhana namun penuh semangat.
Di balik ritme keras tubuh penari, ada unsur yang jarang disoroti: syair. Bagi masyarakat Pulo Aceh, syair bukan pelengkap, melainkan jiwa dari Likok Pulo.
Syair-syair itu diwariskan secara lisan. Beberapa memuat kisah perjalanan para leluhur, beberapa menasihati anak muda agar tidak lupa pada agama dan adat, dan sebagian lainnya berfungsi sebagai candaan untuk mencairkan suasana. Syahi biasanya adalah orang paling dihormati dalam kelompok, bukan hanya karena suaranya, tetapi karena ia memahami makna di balik setiap kata.
Dalam satu pertunjukan, syair bisa membawa penonton pada suasana religius, lalu mendadak melompat ke humor khas nelayan, sebelum kembali ke pesan moral tentang pentingnya persatuan. Dinamika inilah yang membuat penonton betah mengikuti Likok Pulo bahkan hingga satu jam lamanya.

Tradisi yang Nyaris Padam
Sempat datang masa ketika Likok Pulo hampir hanya menjadi cerita. Modernisasi, arus merantau ke kota, dan minimnya ruang pentas membuat kesenian ini perlahan memudar. Di tahun-tahun tertentu, sulit menemukan kelompok yang aktif berlatih. Beberapa syair bahkan hampir hilang karena tidak ada lagi anak muda yang menghafalnya.
Namun, seperti halnya laut yang selalu kembali ke garis pantai, tradisi ini menemukan jalannya untuk hidup kembali.
Sejumlah pemuda pulau—yang sempat merantau, lalu pulang—mendirikan komunitas seni kecil. Mereka menggali kembali syair-syair lama, mengajak tetua untuk melatih generasi baru, dan membentuk kelompok-kelompok pertunjukan. Festival budaya daerah dan kegiatan pelestarian adat memberi panggung baru bagi Likok Pulo. Kini, kesenian ini mulai kembali tampil di berbagai acara budaya, dari tingkat desa hingga kabupaten.
Sebuah fenomena menarik muncul belakangan: remaja Pulo Aceh semakin bangga mempelajari Likok Pulo. Banyak dari mereka mengunggah latihan dan pertunjukan di media sosial. Dari situlah tarian ini kembali dikenal luas. Bahkan beberapa kelompok kini mengolah koreografi tanpa meninggalkan pakem lama: menambahkan variasi tempo, menciptakan syair baru, atau memasukkan pola tepuk yang lebih ekspresif.
Meski demikian, para pelestari tradisi tetap menjaga keseimbangan. Mereka memastikan bahwa Likok Pulo tetap memiliki akar: duduk rapat, kompak, penuh syukur, penuh tawa, dan sarat pesan moral.
Di tengah derasnya dunia digital, identitas budaya sering kali tergerus. Namun Likok Pulo justru menemukan momentum. Tarian ini bukan hanya alat hiburan, tetapi pengikat identitas masyarakat pulau dan pengingat bahwa budaya bisa tetap hidup selama masih ada yang mencintainya.
Seorang pemuda yang aktif menari berkata, “Kami mungkin tinggal di pulau kecil, tapi lewat Likok Pulo, orang-orang tahu siapa kami.”
Dan benar adanya—dari sebuah pulau kecil di ujung barat Aceh, Likok Pulo mengirimkan pesan ke seluruh penjuru negeri: bahwa budaya adalah cara manusia mengingat siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan apa yang ia perjuangkan.(ADV)






