aksarakata.id – Di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, ketika malam mulai turun dan kabut menggantung di antara pepohonan pinus, suara ritmis tepukan tangan dan nyanyian bertempo cepat kerap memecah keheningan. Suara itu berasal dari sebuah pertunjukan tradisional yang disebut didong, sebuah seni tutur dan musikal khas masyarakat Gayo yang telah hidup ratusan tahun. Bagi masyarakat setempat, didong bukan sekadar hiburan, tetapi sarana membangun solidaritas, ruang pendidikan budaya, sekaligus medium untuk menjaga identitas etnis di tengah perubahan zaman.
Didong deng pada dasarnya merupakan kombinasi antara syair, vokal, permainan ritmis, dan pola tepukan tangan yang terstruktur. Para pelakunya disebut ceh didong, yakni para penyair sekaligus pelantun yang biasanya tampil dalam kelompok. Mereka duduk berhadap-hadapan, membentuk formasi lingkaran atau barisan, lalu saling membalas pantun, syair, dan eli (ungkapan puitis khas Gayo) dengan pola vokal yang menghentak, cepat, dan harmonis. Irama yang tercipta menjadi ciri khas yang membedakan didong dari tradisi tutur lainnya di Nusantara.
Di masa lalu, didong memiliki ruang sosial yang sangat luas. Ia hadir dalam rangkaian pesta adat, upacara panen, kenduri, hingga prosesi pernikahan. Selain menghibur, syair-syair didong sering memuat nilai moral, petuah hidup, kisah kepahlawanan, hingga kritik sosial. Dalam struktur masyarakat Gayo yang erat dan kolektif, didong menjadi medium komunikasi publik yang efektif. Para ceh didong memainkan peran bagaikan jurnalis, pendidik, sekaligus seniman yang menyampaikan pesan kepada khalayak luas melalui performa bernas.
Namun, di balik gemerlap suara dan ritme yang memukau, perjalanan didong tidak selalu mulus. Memasuki era 1990-an dan 2000-an, arus globalisasi, migrasi pemuda ke kota besar, serta masuknya hiburan modern mulai menggeser posisi didong sebagai pilihan utama masyarakat. Pertunjukan yang dulu bisa berlangsung semalam suntuk kini perlahan berkurang peminat. Banyak kelompok didong yang bubar karena kekurangan regenerasi. Para ceh didong sepuh khawatir seni ini akan kehilangan penonton, bahkan kehilangan pelaku.

Meski demikian, upaya pelestarian juga muncul dari berbagai arah. Di Takengon, sejumlah seniman muda Gayo mulai menggabungkan elemen didong dengan sentuhan musik kontemporer. Mereka merekam syair-syair tradisional dan memadukannya dengan instrumen modern tanpa menghilangkan karakter deng itu sendiri. Di sekolah-sekolah, guru seni budaya mengajarkan dasar-dasar tepukan dan syair didong sebagai bagian dari kurikulum lokal. Pemerintah daerah juga rutin menggelar festival seni Gayo yang menampilkan kompetisi didong antar kelompok.
Bagi seniman muda seperti Rasyidin, salah satu ceh didong generasi baru, inovasi perlu dilakukan agar seni tradisi tetap relevan. Ia menilai bahwa didong tidak harus selalu hadir dalam format klasik; modernisasi bukan ancaman, melainkan strategi untuk memperluas audiens. Meski begitu, ia menekankan bahwa esensi didong harus tetap dijaga: lirik yang sarat makna, struktur ritmis yang khas, serta etika performa yang menghormati budaya Gayo. Dengan pendekatan tersebut, Rasyidin dan kelompoknya kini memiliki penonton baru, termasuk anak-anak muda yang menemukan kebanggaan pada akar budaya mereka.
Keunikan lain dari didong terletak pada kemampuan seni ini menciptakan rasa bersama. Ketika para ceh didong menembang, tepukan tangan yang sinkron menciptakan resonansi yang tidak hanya terdengar, tetapi juga terasa secara emosional. Penonton ikut terbawa, mengikuti alur syair yang kadang lucu, kadang satir, kadang pula menyentuh. Interaksi antara penembang dan penonton inilah yang membuat didong berbeda dari sekadar pertunjukan musik. Ada hubungan sosial yang terbangun, ada dialog yang hidup, ada identitas yang ditegaskan kembali.
Di tengah percepatan modernitas, keberlangsungan didong bergantung pada dua hal: komitmen komunitas dan inovasi yang terukur. Dengan kesadaran budaya yang semakin kuat di kalangan generasi muda Gayo, peluang itu tampaknya masih terbuka lebar. Didong mungkin tidak lagi menjadi satu-satunya hiburan masyarakat, tetapi ia tetap menjadi salah satu simbol kultural terpenting yang dimiliki dataran tinggi Gayo.
Pada akhirnya, didong bukan sekadar seni pertunjukan. Ia adalah memori kolektif, cermin kehidupan sosial, dan ekspresi estetika yang lahir dari tanah Gayo. Selama masih ada ceh didong yang menembang, anak-anak muda yang belajar tepukan deng, dan masyarakat yang bangga pada warisan budaya mereka, didong akan terus hidup. Suaranya akan tetap menggema di antara bukit-bukit Gayo, menjadi pengingat bahwa tradisi bukan beban masa lalu, melainkan kekuatan untuk masa depan.(ADV)






