aksarakata.id, Pidie – Di Kabupaten Pidie, Aceh, tradisi bukan sekadar warisan masa lalu. Ia hidup, bergerak, dan terus menegaskan identitas masyarakat setempat. Salah satu yang paling mencolok adalah Geudeu-geudeu, sebuah permainan ketangkasan yang memadukan kekuatan fisik, strategi, serta nilai-nilai sosial yang mengakar kuat. Meski tampak sebagai permainan sederhana antara dua kelompok pemuda, Geudeu-geudeu sesungguhnya merepresentasikan filosofi keberanian, kebersamaan, dan kearifan lokal masyarakat Pidie.
Permainan ini biasanya digelar dalam rangkaian perayaan tertentu: hari besar keagamaan, kenduri kampung, atau hajatan adat. Tidak jarang pula Geudeu-geudeu dimainkan sebagai hiburan rakyat pada momentum penyambutan tamu penting. Arena yang digunakan pun tidak rumit; cukup sebidang tanah lapang, disaksikan ratusan warga yang membentuk lingkaran besar. Namun kesederhanaan itu tidak mengurangi tensi permainan yang intens dan sering kali dramatis.
Secara teknis, Geudeu-geudeu dimainkan oleh dua kelompok, masing-masing terdiri atas beberapa pemuda tangguh. Kedua tim duduk berhadapan dengan jarak tertentu. Di tengah mereka diletakkan sebatang kayu atau tanda yang menjadi garis batas. Seorang pemain dari salah satu tim akan maju merangkak rendah, mendekati garis batas, dan menantang pemain lawan dengan teriakan khas yang menjadi ciri permainan ini: “Geudeu! Geudeu!”.
Tantangan ini memancing respons pemain lawan untuk melompat, menyerang, atau menahan. Jika pemain penantang berhasil kembali ke barisannya tanpa tersentuh atau tanpa terjatuh, timnya memperoleh poin. Tetapi bila ia tertangkap lawan, ia dinyatakan kalah dalam ronde tersebut. Kemenangan dalam Geudeu-geudeu bukan semata ditentukan oleh kekuatan fisik; refleks, perhitungan jarak, hingga kemampuan membaca strategi lawan menjadi faktor yang sangat menentukan.
Yang membuat tradisi ini unik adalah ekspresi fisik yang menyerupai kombinasi antara gerakan bela diri, permainan anak kampung, dan ritual tantang-menantang. Dalam banyak kesempatan, adu ketangkasan itu berlangsung begitu cepat hingga penonton sering kali bersorak bersamaan dengan momen tangkapan atau lompatan yang mendebarkan. Suasana ini membuat Geudeu-geudeu terasa hidup, dinamis, dan autentik sebagai hiburan sekaligus ritual sosial.
Walau terlihat kasar, Geudeu-geudeu sebenarnya memiliki aturan tidak tertulis yang mengatur batas-batas permainan. Pemain dilarang memukul keras, menendang, atau melakukan tindakan yang dapat menyebabkan cedera serius. Para tetua kampung atau tokoh adat biasanya hadir untuk memastikan permainan tetap berada dalam koridor sportivitas. Bagi masyarakat Pidie, marwah permainan lebih penting dari sekadar kemenangan.

Secara historis, tradisi ini diyakini lahir dari kebutuhan masyarakat untuk melatih ketangkasan fisik dan keberanian pemuda. Di masa lampau, kemampuan tersebut berkaitan erat dengan kesiapan mempertahankan kampung dari ancaman luar. Nilai-nilai itu kemudian bertransformasi menjadi bentuk permainan yang bersifat seremonial. Seiring waktu, Geudeu-geudeu menjadi wahana mempererat persaudaraan antarkampung, sekaligus ajang bagi pemuda untuk menguji diri di hadapan masyarakat.
Di era modern, tradisi ini menghadapi tantangan besar. Urbanisasi, perubahan pola hiburan, serta minimnya dokumentasi membuat sebagian generasi muda kurang mengenal Geudeu-geudeu. Namun demikian, sejumlah komunitas budaya di Pidie terus berupaya mempertahankan keberadaan permainan ini. Mereka menggelar latihan rutin, mendokumentasikan teknik bermain, dan memperkenalkan Geudeu-geudeu dalam festival budaya lokal.
Di beberapa desa, pemerintah gampong bahkan menjadikan permainan ini sebagai bagian dari agenda tahunan. Tujuannya sederhana: memastikan tradisi leluhur tidak hilang ditelan perkembangan zaman. Upaya revitalisasi ini membuahkan hasil positif. Anak-anak mulai menunjukkan ketertarikan, para pemuda kembali aktif berlatih, dan masyarakat semakin menyadari pentingnya melestarikan identitas budaya mereka.
Bagi para penikmat budaya, Geudeu-geudeu tidak hanya menyajikan atraksi ketangkasan. Ia menghadirkan atmosfer kekitaan yang kuat. Sorak penonton, tawa anak-anak, instruksi pelatih, serta suara tanah yang terinjak-injak para pemain membentuk pengalaman kolektif yang sulit ditemukan pada hiburan modern. Tradisi ini tidak hanya menampilkan tubuh yang bergerak, tetapi juga nilai-nilai yang bekerja: solidaritas, keberanian, kegigihan, dan rasa bangga terhadap akar budaya.
Dalam konteks lingkungan sosial Aceh, Geudeu-geudeu menjadi bukti bahwa tradisi lokal memiliki kapasitas adaptasi. Meski berasal dari masa lampau, ia tetap relevan sebagai ruang pertemuan antar-generasi. Anak-anak belajar keberanian. Pemuda menguji ketangkasan. Orang tua mengajarkan nilai sportivitas. Sementara masyarakat luas merayakan kebersamaan.
Jika ada tradisi yang mencerminkan karakter masyarakat Pidie secara utuh, maka Geudeu-geudeu adalah salah satunya. Ia keras sekaligus teratur, sederhana namun sarat makna. Selama masyarakat terus memberi ruang bagi permainan ini, Geudeu-geudeu akan tetap hidup, menjadi bagian dari denyut sosial Pidie, dan menjadi warisan budaya yang dapat dibanggakan lintas generasi.(ADV)






