Khanduri Blang Tradisi Harmoni Alam dan Manusia

Advertorial13 Dilihat

aksarakata.id – Di tengah hamparan persawahan hijau yang membentang luas di berbagai wilayah Aceh, sebuah tradisi agraris yang sarat makna terus hidup dan dipertahankan oleh Masyarakat yaitu Khanduri Blang. Ritual adat ini bukan hanya wujud rasa syukur atas limpahan rezeki dari sawah, tetapi juga simbol komitmen kolektif masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Meski zaman terus berubah dan modernisasi merambah sektor pertanian, Khanduri Blang tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya Aceh.

Khanduri Blang secara umum merupakan upacara adat yang dilakukan pada awal musim tanam atau setelah panen. Namun, bentuk dan rangkaian acaranya dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Di beberapa gampong, khanduri digelar ketika air mulai dialirkan ke sawah; di tempat lain, ia dilaksanakan setelah padi mulai menguning sebagai tanda berakhirnya siklus tanam. Terlepas dari variasinya, tujuan utama khanduri tetap sama: memohon keberkahan, keselamatan, dan kelimpahan hasil.

Pelaksanaan Khanduri Blang biasanya dimulai dengan musyawarah di meunasah atau balai gampong. Para tokoh adat, imam kampung, petani, dan perangkat desa duduk bersama menentukan hari baik, menyiapkan kebutuhan upacara, dan membagi tanggung jawab antarwarga.

Semangat gotong royong sangat menonjol dalam proses ini, sebab masyarakat percaya bahwa keberhasilan tanam padi bukan hanya urusan individu, tetapi urusan seluruh komunitas yang bergantung pada sawah sebagai sumber kehidupan.

Pada hari pelaksanaan, suasana kampung berubah menjadi lebih hidup. Perempuan sibuk memasak hidangan khas seperti kuah beulangong, sie reuboh, dan aneka penganan tradisional untuk disantap bersama. Sementara itu, laki-laki menyiapkan perlengkapan ritual, termasuk air bersih, dedaunan simbolis, serta perlengkapan doa. Di beberapa daerah, sesaji berupa hasil pertanian juga disertakan sebagai lambang syukur atas rezeki yang diberikan.

Prosesi inti biasanya dipimpin oleh teungku atau tokoh agama setempat. Doa dibacakan di pematang sawah atau di titik tertentu yang dianggap pusat jaringan irigasi. Bacaan doa berisi permohonan agar hama dijauhkan, tanah menjadi subur, air mencukupi, dan para petani diberi kesehatan dalam menjalankan aktivitas mereka. Unsur religius ini menjadi salah satu ciri khas khanduri yang menunjukkan perpaduan adat lama dengan nilai-nilai Islami yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Selain doa, beberapa daerah juga mempertahankan simbol-simbol adat seperti pelepasan air pertama ke petakan sawah sebagai tanda dimulainya musim tanam. Ada pula ritual menabur benih secara seremonial oleh petani yang dianggap paling senior atau paling berpengalaman. Tradisi ini bukan hanya simbol penghormatan, tetapi juga pengingat bahwa pengetahuan bertani diwariskan secara turun-temurun.

Usai rangkaian doa dan simbolisasi, masyarakat melanjutkan kegiatan dengan makan bersama. Momen ini menjadi sarana mempererat hubungan sosial antarwarga. Para petani bertukar cerita, berbagi pengalaman tentang teknik bercocok tanam, membahas masalah irigasi, atau sekadar menikmati kebersamaan. Dalam konteks ini, Khanduri Blang berfungsi bukan hanya sebagai ritual religius, tetapi juga wadah penguatan solidaritas sosial.

Di tengah gempuran teknologi pertanian modern, Khanduri Blang tetap relevan bagi masyarakat Aceh. Ia menjadi pengingat bahwa meskipun manusia memiliki peralatan modern, keberhasilan panen tetap bergantung pada harmoni antara alam dan manusia. Banyak akademisi budaya menilai bahwa tradisi ini membantu menjaga etika lingkungan masyarakat Aceh, terutama dalam hal penggunaan air, pemeliharaan jaringan irigasi, serta pengelolaan lahan secara kolektif.

Sejumlah daerah bahkan menjadikan Khanduri Blang sebagai agenda wisata budaya lokal. Pemerintah gampong dan kabupaten melihat tradisi ini sebagai aset budaya bernilai tinggi yang dapat diperkenalkan kepada generasi muda maupun wisatawan. Dengan cara ini, Khanduri Blang tidak hanya berfungsi sebagai ritual adat, tetapi juga sebagai penguat identitas Aceh di mata publik.

Di era modern yang serba cepat, tradisi seperti Khanduri Blang menunjukkan bahwa kekuatan budaya terletak pada kemampuannya menyatukan masyarakat dan memberi makna lebih pada aktivitas sehari-hari. Bagi petani Aceh, menanam padi bukan hanya kegiatan ekonomi, tetapi juga ibadah dan wujud syukur. Dan melalui Khanduri Blang, nilai-nilai itu terus hidup, diwariskan, dan dipertahankan dari generasi ke generasi.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *