Menggali Makna dan Kebertahanan Tradisi Peusijuek di Aceh

Advertorial13 Dilihat

aksarakata.id – Di tengah arus modernisasi yang semakin cepat, Aceh tetap memeluk erat sejumlah tradisi yang menjadi penanda identitas kultural masyarakatnya. Salah satu tradisi yang masih kokoh bertahan dan terus dijalankan hingga kini adalah peusijuek, sebuah ritual simbolik untuk memohon keselamatan, berkah, dan kedamaian. Meski sederhana dalam pelaksanaan, tradisi ini menyimpan nilai-nilai sosial, spiritual, dan filosofis yang dalam, menjadikannya bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh.

Secara harfiah, peusijuek berasal dari kata “sijuek” yang berarti “sejuk”. Namun makna kesejukan yang dimaksud tidak sekadar merujuk pada sensasi fisik, melainkan lebih pada kedamaian batin, ketenteraman hidup, dan harmoni sosial. Peusijuek biasanya dilakukan dengan menaburkan beras padi yang telah diwarnai, menyentuhkan daun tertentu, serta memercikkan air yang telah diberi doa. Tindakan-tindakan simbolik ini diyakini membawa pesan spiritual tentang kesucian, kesejukan hati, dan doa agar semua urusan berjalan dengan baik.

Dalam banyak komunitas Aceh, peusijuek menjadi semacam ritual pembuka yang mengawali berbagai momentum penting. Mulai dari pernikahan, khitanan, memasuki rumah baru, hingga pelepasan jamaah haji semuanya lazim diawali dengan peusijuek. Bahkan dalam konteks yang lebih modern, kendaraan baru, peresmian usaha, atau pelantikan jabatan pun sering diiringi ritual ini. Peusijuek seakan menjadi jembatan emosional yang menghubungkan harapan kolektif dengan doa-doa yang diucapkan secara khusyuk.

Pada sebuah prosesi peusijuek di Desa Lamteh, Banda Aceh, keramaian tampak menyatu dengan suasana religius yang hangat. Seorang tetua adat memulai ritual dengan membacakan doa. Di hadapannya telah tersusun wadah berisi beras berwarna kuning dan putih, segelas air, serta seikat daun on seunijen daun yang secara tradisional digunakan untuk menyentuh dan memberi simbol restu. Setelah doa selesai, satu per satu peserta yang menjadi objek peusijuek maju ke depan. Dengan gerakan perlahan dan penuh kehati-hatian, tetua adat menaburkan beras ke pundak dan kepala, memercikkan air ke hadapan mereka, lalu menyentuhkan daun ke dahi. Semua dilakukan dengan iringan doa agar kehidupan yang dijalani mereka diliputi keberkahan.

Masyarakat setempat meyakini bahwa simbol-simbol dalam ritual peusijuek tidak hanya memiliki makna religius, tetapi juga melekat pada pesan moral dan etika sosial. Beras yang digunakan melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan; air yang dipercikkan menggambarkan sumber kehidupan yang suci; sementara daun yang menyentuh dahi menjadi simbol ketundukan, kerendahan hati, dan kesiapan menerima nasihat. Ketika simbol-simbol ini dipadukan, peusijuek menjadi pengingat bahwa setiap langkah hidup sebaiknya dimulai dengan niat baik, kesadaran moral, serta rasa syukur.

Namun, seperti tradisi lainnya, peusijuek menghadapi tantangan di era modern. Sebagian generasi muda mungkin memandangnya sebagai ritual yang tidak lagi relevan dalam kehidupan praktis. Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tradisi ini justru terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tokoh-tokoh adat, ulama, dan komunitas budaya di Aceh melakukan berbagai upaya untuk memastikan bahwa peusijuek tidak sekadar bertahan sebagai seremoni, tetapi tetap dipahami konteks nilai-nilainya.

Salah satu bentuk adaptasi yang terlihat adalah pemaknaan ulang peusijuek dalam konteks sosial kontemporer. Peusijuek kini sering dijadikan momen kebersamaan yang mempererat hubungan keluarga dan masyarakat. Ia berfungsi sebagai ruang di mana nilai gotong royong, saling mendoakan, dan menjaga solidaritas diwujudkan secara nyata. Tidak sedikit pula keluarga muda yang tetap melaksanakan tradisi ini, bukan semata karena tuntutan adat, tetapi karena mereka merasakan nilai kebersamaan yang muncul dari ritual tersebut.

Para akademisi dan pemerhati budaya Aceh juga menilai bahwa peusijuek memiliki dimensi pendidikan karakter. Melalui tradisi ini, generasi muda diperkenalkan kepada akar budaya mereka, sekaligus diajak memahami pentingnya kesederhanaan, penghormatan kepada tetua, serta menjaga hubungan baik antarsesama. Dalam perspektif yang lebih luas, peusijuek menjadi representasi bagaimana budaya lokal dapat tetap eksis di tengah dinamika global, selama ia mampu menanamkan nilai-nilai universal tentang kedamaian dan keharmonisan.

Pada akhirnya, peusijuek tidak hanya sebuah ritual, melainkan refleksi identitas Aceh yang kaya akan nilai spiritual dan rasa kebersamaan. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengelola perubahan zaman tanpa melepaskan akar tradisi. Di setiap percikan air yang membasahi tangan, di setiap butir beras yang jatuh ke pundak, tersimpan harapan agar kehidupan terus berjalan dalam kesejukan dan keberkahan. Dan selama nilai-nilai itu dijaga, peusijuek akan tetap hidup sebagai denyut budaya yang menghangatkan masyarakat Aceh dari generasi ke generasi.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *