aksarakata.id – Di tengah gelap malam yang ditemani suara serangga dan desau angin, masyarakat Aceh memiliki cara unik untuk mengantar bayi memejamkan mata: sebuah nyanyian lembut yang dikenal sebagai Do Da Idi. Lantunan ini bukan sekadar lagu pengantar tidur, tetapi sebuah tradisi lisan yang telah diwariskan turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Nyanyian ini mengandung doa, nasihat, sekaligus gambaran kehidupan masyarakat Aceh dari masa ke masa.
Sejarawan menyebutkan bahwa tradisi Do Da Idi sudah ada jauh sebelum masuknya pengaruh musik modern. Ia lahir dari kehidupan masyarakat pesisir dan pedalaman yang menjadikan syair sebagai media penyampaian pesan. Pada masa ketika tulisan belum menjadi budaya utama, suara ibu menjadi “buku pertama” yang dibaca oleh seorang anak. Di situlah Do Da Idi memainkan perannya—sebagai medium pendidikan pertama yang diberikan seorang ibu kepada anaknya.
Syair-syair Do Da Idi umumnya sederhana, berisi penggambaran alam, doa untuk kesehatan anak, hingga harapan agar kelak ia tumbuh menjadi manusia saleh, kuat, dan berbakti. Beberapa versi mencantumkan ungkapan penuh kasih seperti “beh beut nyan jak duek” atau “hai aneuk, jak ureueng bijak”, yang mencerminkan pola asuh penuh kelembutan masyarakat Aceh. Irama yang lembut membuat bayi merasa aman, sementara syair-syairnya memberi ketenangan bagi sang ibu sendiri.

Terdapat pula nilai historis dalam nyanyian ini. Misalnya, beberapa keluarga masih menyimpan versi Do Da Idi yang menyebut nama-nama tempat, tanaman, atau kegiatan tradisional yang kini mulai langka. Hal ini menjadikan Do Da Idi sebagai arsip hidup—sebuah dokumentasi sosial budaya yang tersimpan di memori kolektif masyarakat. Ketika seorang ibu menyanyikan Do Da Idi, ia sebenarnya sedang meneruskan cerita panjang warisan nenek moyangnya.
Tradisi ini juga menjadi cermin relasi sosial masyarakat Aceh. Dalam banyak keluarga, bukan hanya ibu yang menyanyikannya. Kakak, nenek, atau bahkan ayah ikut berperan. Proses ini menciptakan ruang kebersamaan, merekatkan hubungan emosional antaranggota keluarga. Ritual menidurkan anak pun berubah menjadi aktivitas yang sarat nilai kekeluargaan.
Dalam konteks budaya yang lebih luas, Do Da Idi memperlihatkan betapa kuatnya tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Di saat banyak daerah lain telah meninggalkan lagu pengantar tidur tradisional, masyarakat Aceh justru masih menyimpan ragam variasinya. Ada daerah yang melantunkannya dengan tempo lambat, ada pula yang memadukan ritme ayunan tikar buaian.
Para peneliti budaya menganggap Do Da Idi sebagai bentuk “pendidikan awal yang penuh estetika”. Melalui irama dan syair, bayi diperkenalkan pada bahasa ibu sejak usia dini. Hal ini diyakini membantu perkembangan emosional, kemampuan berbahasa, dan rasa kedekatan anak dengan lingkungan budaya tempat ia tumbuh.
Kini, walau teknologi telah mengubah cara orang menidurkan anak, Do Da Idi tetap menjadi bagian dari identitas Aceh. Dalam rumah-rumah yang masih menyimpannya, nyanyian ini terdengar sebagai suara masa lalu yang terus hidup. Ia membuktikan bahwa tradisi tidak selalu harus megah untuk bertahan—kadang cukup dengan suara lembut seorang ibu yang menyanyikan harapan di malam hari. (Adv)






