Rapai Geleng Dentum Irama, Gelengan Kepala, dan Identitas Kolektif Aceh yang Tetap Bertahan

Advertorial12 Dilihat

aksarakata.id – Di sebuah sore yang hangat di Desa Lam Ara, Banda Aceh, balai latihan sanggar seni itu perlahan dipenuhi suara rapai yang ditabuh berulang-ulang. Bunyi kulit yang dipukul dengan telapak tangan menghasilkan ritme yang terstruktur, naik turun seperti napas yang teratur. Puluhan remaja, sebagian berseragam latihan dan sebagian mengenakan pakaian sekolah yang belum sempat diganti, duduk bersisian membentuk barisan rapat. Begitu instruktur memberi tanda, barisan itu pun serempak hidup: tubuh membungkuk, tangan menepuk dada, dan kepala bergerak tegas ke kiri dan kanan. Gelengan yang simultan itu seperti gelombang yang merambat melalui tubuh kolektif mereka.

Inilah Rapai Geleng salah satu kesenian khas Aceh yang bagi banyak orang tidak hanya sekadar tarian, melainkan ekspresi identitas masyarakat yang sudah hidup selama berabad-abad. Di tengah dentuman rapai, syair-syair bernada religius dan nasihat sosial mengalir, menciptakan pertunjukan yang menyatukan aspek spiritual, estetika, dan kebersamaan.

Rapai Geleng berakar dari tradisi dakwah Islam di Aceh. Pada masa lalu, para penyebar agama menggunakan rapai sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat. Dentuman instrumen itu memanggil kerumunan, sementara syair-syair yang dilantunkan menjadi sarana menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai keagamaan. Tariannya sendiri berkembang sebagai simbol kekompakan komunitas, yang kemudian menjadi bagian integral dari upacara adat, perayaan keagamaan, dan kegiatan sosial.

Walaupun sejarah tertulis tentang perkembangan Rapai Geleng tidak setebal dokumentasi seni modern, sebagian besar seniman sepakat bahwa seni ini menggabungkan unsur-unsur sufistik yang kuat: ritme repetitif, energi kolektif, serta gerakan yang membawa fokus batin. Pada masa konflik Aceh, Rapai Geleng juga memainkan peran sosial sebagai ruang aman untuk berkumpul dan menjaga hubungan antarwarga.

Rapai Geleng bukanlah kesenian yang dapat dikuasai dalam waktu singkat. Gerakan kepala yang cepat dan terukur membutuhkan kekuatan otot leher, sementara keserempakan antarpenari menuntut presisi tinggi. Ritme rapai harus dipahami tidak hanya sebagai musik pengiring, tetapi sebagai komando yang mengatur seluruh pola gerak.

“Di sini tidak ada yang berdiri sendiri. Semua elemen harus bersatu,” ujar Teuku Azwar, pelatih yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengajar Rapai Geleng di berbagai sanggar Aceh.

Menurutnya, kohesi kelompok adalah kunci utama keindahan tarian ini. “Kalau satu orang terlambat sepersekian detik saja, penonton langsung melihatnya. Karena itu, latihan kami fokus pada harmoni, bukan hanya teknik tubuh,” terangnya

Setiap sesi latihan biasanya dimulai dengan pemanasan leher dan punggung, lalu latihan ritme melalui tepukan dada dan paha untuk membangun sensitivitas tempo. Para penari juga dilatih untuk menciptakan suara tubuh yang berpadu dengan rapai, menghasilkan dinamika yang jauh lebih kompleks daripada yang tampak.

Di berbagai kabupaten di Aceh, sanggar seni memainkan peran vital sebagai pusat pewarisan Rapai Geleng. Salah satunya adalah Sanggar Batee Meucanang, yang beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah murid dan permintaan pertunjukan.

Nurul Hidayati, pengelola sanggar tersebut, menjelaskan bahwa generasi muda kini mulai melihat Rapai Geleng sebagai identitas budaya yang membanggakan. “Mereka ingin naik panggung, mengikuti festival, dan tampil di luar daerah. Kesenian ini memberi mereka rasa memiliki terhadap Aceh,” katanya.

Menurut Nurul, pertumbuhan minat ini juga didorong oleh penghargaan yang semakin besar terhadap seni daerah dalam berbagai event nasional. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas kreatif turut mendukung melalui program pelatihan dan kompetisi tahunan.

Adaptasi di Tengah Arus Modernisasi

Meski popularitasnya meningkat, Rapai Geleng menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap relevan di era media digital dan budaya populer global.

Sebagian kelompok seni mencoba menjawab tantangan tersebut dengan melakukan inovasi. Ada yang menggabungkan Rapai Geleng dengan musik kontemporer, ada yang menyisipkan elemen teater, bahkan ada yang mengeksplorasi pencahayaan panggung modern untuk memberikan pengalaman visual baru tanpa menghilangkan karakter tradisionalnya. Inovasi ini kerap menuai perdebatan internal, tetapi juga membuka jalan bagi Rapai Geleng untuk menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi milenial dan Gen Z.

“Bagi kami, inovasi tetap harus menjaga ruhnya. Rapai harus tetap menjadi pusatnya,” tegas Teuku Azwar, menegaskan keseimbangan antara pelestarian dan perkembangan.

Ketika latihan di balai sanggar itu berakhir, para remaja terlihat terengah-engah namun tersenyum puas. Keringat menetes, tetapi ekspresi mereka menunjukkan rasa bangga. Suara rapai yang perlahan mereda seolah meninggalkan pesan bahwa tradisi ini tidak hanya dipelajari, tetapi dihidupi.

Rapai Geleng adalah medium yang menyatukan orang-orang Aceh dalam satu frekuensi: ritme. Di tengah gempuran modernitas, seni ini tetap menjadi pengingat bahwa budaya bukan semata warisan, tetapi fondasi identitas yang harus dijaga.

Tradisi itu hidup setiap kali rapai ditabuh, setiap kali syair dilantunkan, dan setiap kali serombongan penari menggelengkan kepala mereka secara serempak seolah menyatakan bahwa Aceh masih memiliki jantung budaya yang berdetak kuat.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *