Seni Tari Laweut Jejak Spiritualitas dan Kebersamaan yang Terus Menyala

Advertorial13 Dilihat

aksarakata.id – Di sebuah sore yang hangat di Banda Aceh, denting rapa’i terdengar menggema dari sebuah balai budaya di dekat kawasan Peuniti. Suara bedug kecil yang ritmis itu mengundang perhatian orang yang melintas. Di dalam ruangan, sekelompok penarilelaki dan perempuan dari berbagai usia tengah berlatih sebuah tarian yang mungkin tidak asing bagi masyarakat Aceh, namun tetap memukau setiap kali ditampilkan: tari Laweut. Geraknya sederhana tetapi sarat makna, iramanya tegas namun lembut, dan setiap hentakan seolah membawa penonton ke dalam ruang spiritual yang telah hidup berabad-abad lamanya.

Tari Laweut merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional Aceh yang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Kata “laweut” sendiri berasal dari tradisi zikir atau lantunan puji-pujian kepada Sang Pencipta. Tidak mengherankan jika atmosfer religius begitu dominan dalam setiap penampilan Laweut. Berbeda dengan beberapa tarian Aceh lain yang penuh dinamika seperti Saman atau Seudati, Laweut mengedepankan harmoni gerak dan vokal sebagai satu kesatuan ekspresi ketakwaan.

Dalam sejarahnya, Laweut tumbuh bersama perkembangan pendidikan Islam di Aceh. Ia banyak ditampilkan dalam rangka memperingati hari besar keagamaan, pengajian, atau acara adat. Beberapa versi menyebutkan bahwa Laweut mula-mula berkembang di lingkungan dayah lembaga pendidikan tradisional sebagai media dakwah yang lebih mudah diterima masyarakat. Melalui gerak tubuh yang disiplin dan syair-syair yang dipenuhi pesan moral, Laweut menjadi jembatan antara seni, budaya, dan keimanan.

“Seni Laweut itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah doa yang dipentaskan,” ujar Ustaz Nurdin, seorang pembina seni tradisi di Banda Aceh, saat ditemui seusai sesi latihan.

Menurutnya, kekuatan utama Laweut terletak pada vokal yang seirama dan gerakan yang kompak. Para penari tidak hanya harus menghafal irama, tetapi juga memahami filosofi di balik setiap bait yang dilantunkan.

“Syairnya berisi pujian kepada Allah, nasihat hidup, atau ajakan memperkuat persaudaraan. Tidak mungkin dibawakan tanpa penghayatan,” tambahnya.

Dalam pertunjukan Laweut, para penari biasanya duduk atau berdiri berbanjar. Gerakan tangan menjadi elemen visual yang paling dominan: mengayun lembut mengikuti alunan melodi, kemudian menegas pada titik tertentu untuk menegaskan makna syair. Keharmonisan gerak kelompok menjadi aspek estetika yang sangat diperhatikan. Setiap penari harus sensitif terhadap ritme agar tidak merusak keseimbangan visual keseluruhan.

Selain elemen spiritual dan estetika, Laweut juga mencerminkan nilai sosial yang kuat. Tarian ini mengajarkan kebersamaan melalui pola gerak yang kolektif, saling menyesuaikan, dan saling menguatkan. Tidak ada penari yang lebih menonjol; semuanya bergerak sebagai satu tubuh. Kehadiran unsur ini menjadikan Laweut relevan hingga kini, terutama sebagai simbol solidaritas dalam masyarakat Aceh yang pernah dilanda konflik dan bencana.

tari laweut yang pernah ditampilkan di event PKA 8 oleh Sanggar dari Pidie

Namun demikian, perjalanan seni Laweut tidak selalu mulus. Di tengah arus modernisasi dan transformasi budaya yang cepat, Laweut sempat mengalami penurunan minat, terutama di kalangan generasi muda. Dominasi hiburan populer membuat seni tradisi seperti ini memerlukan upaya lebih untuk tetap bertahan. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir, geliat revitalisasi budaya di Aceh memunculkan kembali optimisme. Sekolah-sekolah, sanggar tari, hingga komunitas mahasiswa mulai memasukkan Laweut dalam program latihan rutin.

“Anak-anak sekarang sebenarnya punya rasa ingin tahu yang besar, hanya perlu wadah dan pendekatan yang sesuai,” ungkap Fitri Yuliana, seorang koreografer muda yang aktif membina kelompok tari di universitas. Ia menilai bahwa mengemas Laweut dengan format pertunjukan yang lebih adaptif tanpa menghilangkan nilai aslinyadapat menjangkau audiens yang lebih luas. Menurutnya, seni tradisi tidak harus kaku. “Intinya tetap pada filosofi, bukan sekadar bentuknya,” katanya.

Kebangkitan Laweut juga mendapat dukungan pemerintah daerah melalui festival budaya tahunan serta program pelestarian warisan budaya takbenda. Kehadiran panggung formal dan dukungan finansial membantu seniman dan sanggar untuk terus melatih generasi penerus. Selain itu, beberapa kolaborasi lintas disiplin seperti perpaduan Laweut dengan musik kontemporer atau visual modern memberi warna baru yang menarik minat penonton urban.

Meski demikian, bagi para pelaku seni tradisi, keberlanjutan Laweut tidak hanya ditentukan oleh popularitas atau panggung. Yang lebih penting adalah menjaga kemurnian pesan dan nilai-nilai spiritual yang menjadi akar tarian ini. Selama makna itu tetap hidup dalam setiap gerak dan lantunan syair, Laweut diyakini akan terus menjadi bagian penting dari identitas budaya Aceh.

Sore itu, latihan kembali dilanjutkan. Rapa’i dipukul dengan ritme yang stabil, suara para penari bergema memenuhi ruangan, dan gerakan tangan yang serempak menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di balik kesederhanaannya, Laweut menyimpan kekuatan yang mampu menyatukan manusia dengan tradisi, sesama, dan nilai-nilai luhur. Itulah yang menjadikannya tak sekadar tarian, tetapi sebuah warisan yang terus berdenyut dalam kehidupan masyarakat Aceh.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *