aksarakata.id – Dalam khazanah seni pertunjukan di Aceh, terdapat sebuah tradisi tari yang tidak hanya memancarkan keindahan gerak, tetapi juga memuat kedalaman spiritual, kebersamaan, dan kearifan lokal. Tari Rateb Meusekat, yang telah hidup berabad-abad dalam masyarakat Aceh, merupakan salah satu bentuk seni budaya yang merepresentasikan perpaduan harmonis antara dakwah, nilai-nilai sufistik, dan ekspresi estetika masyarakat pesisir dan pedalaman Aceh. Hingga kini, tradisi ini tetap lestari, terutama di wilayah Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan sekitarnya, meski adaptasi terhadap perkembangan zaman terus dilakukan.
Rateb Meusekat berasal dari dua kata: rateb yang berarti zikir atau doa berirama, dan meusekat yang merujuk pada pola tepukan tangan dan gerakan tubuh yang selaras. Tari ini pada dasarnya menampilkan sekelompok penari laki-laki yang duduk berbaris rapi sambil melakukan ragam gerak ritmis yang diiringi lantunan syair-syair Islami. Dengan tempo yang berubah-ubah, dari lembut hingga cepat, pertunjukan Rateb Meusekat mengalir layaknya gelombang spiritual yang seakan menyatukan para penari dengan penonton.
Salah satu ciri khas utama dari Rateb Meusekat adalah kuatnya nuansa religius dalam setiap penggalan syair yang dinyanyikan. Dalam tradisi lisan yang dipertahankan turun-temurun, para syeikh atau pemimpin pertunjukan biasanya memimpin pembacaan syair yang berisi puji-pujian kepada Allah, kisah para nabi, nilai akhlak, dan pesan moral. Para penari akan menyahutnya sambil melakukan berbagai gerak tepukan dan hentakan yang terstruktur. Pola gerak yang teratur, repetitif, dan sinkron ini dianggap sebagai bentuk visualisasi zikir berjemaah, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Meski demikian, Rateb Meusekat tidak hadir semata-mata sebagai ritual. Seiring perjalanan sejarahnya, tarian ini berkembang menjadi medium sosial budaya yang penting. Pada masa lalu, Rateb Meusekat kerap dipertunjukkan dalam berbagai perayaan masyarakat, seperti kenduri kampung, acara keagamaan, hari besar Islam, dan penyambutan tamu. Selain sebagai hiburan, tarian ini menjadi ruang edukasi informal, tempat nilai-nilai moral dan keagamaan diwariskan dari generasi tua kepada generasi muda.

Daya tarik visual Rateb Meusekat terletak pada dinamika gerak para penarinya. Diawali dengan posisi duduk bersila atau berlutut, para penari perlahan mulai menggerakkan tangan, bahu, dan tubuh bagian atas. Irama tepukan berubah dari lembut menjadi lebih intens seiring peningkatan tempo syair. Pada tahap tertentu, para penari akan mencondongkan tubuh, mengayunkan tangan ke depan serta ke samping, menciptakan gelombang gerak yang seragam dan memukau. Penonton kerap merasakan energi emosional dari pertunjukan ini, karena meningkatnya intensitas gerak biasanya menggambarkan klimaks dari proses zikir yang mereka visualisasikan.
Kostum yang digunakan pun mencerminkan kesederhanaan dan kesakralan. Para penari umumnya mengenakan busana tradisional Aceh seperti baju longgar berwarna gelap, kain sarung, atau celana longgar, serta ikat kepala. Dominasi warna sederhana—sering kali hitam atau cokelat tua—dipilih bukan untuk menonjolkan kemewahan, melainkan untuk menjaga fokus audiens pada nilai spiritual dan keselarasan gerak.
Dalam konteks modern, keberlangsungan Tari Rateb Meusekat menghadapi tantangan tersendiri. Arus globalisasi, perubahan pola hiburan masyarakat, dan berkurangnya minat generasi muda terhadap tradisi menjadi isu utama. Meski demikian, sejumlah upaya pelestarian telah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah, termasuk pembinaan sanggar, dokumentasi, festival budaya tahunan, serta integrasi seni tradisi ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Upaya tersebut menunjukkan bahwa Rateb Meusekat bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset kebudayaan yang memiliki potensi besar untuk terus berkembang.
Pada beberapa pertunjukan kontemporer, adaptasi dilakukan dengan tetap mempertahankan pakem utama. Penggunaan tata cahaya yang lebih modern, panggung yang didesain estetis, serta pengemasan acara yang lebih menarik bagi publik luas menjadi strategi agar Rateb Meusekat dapat diterima generasi muda tanpa kehilangan ruh spiritualnya. Namun demikian, komunitas adat dan para pemangku budaya tetap menekankan pentingnya menjaga esensi tarian ini sebagai media dakwah dan zikir, sehingga perubahan yang dilakukan harus bersifat estetis, bukan prinsipil.
Rateb Meusekat bukan sekadar seni; ia adalah cerminan identitas masyarakat Aceh yang religius, komunal, dan sarat nilai. Ketika para penari duduk berbaris, bersahut-sahutan dalam lantunan syair, dan bergerak dengan ritme yang sama, di sanalah kita melihat simbol kuat tentang kebersamaan dan keselarasan. Dalam dunia yang terus berubah, tradisi ini mengingatkan bahwa spiritualitas dan budaya lokal dapat terus berjalan berdampingan, menguatkan satu sama lain.(ADV)






