aksarakata.id – Di tengah derasnya arus modernisasi yang merambah hingga ke pelosok-pelosok Nusantara, sejumlah tradisi daerah masih tegak berdiri sebagai identitas budaya. Salah satunya adalah Tari Seudati, sebuah tarian khas Aceh yang menonjolkan kekuatan ritme tubuh, lantunan syair religius, dan dinamika gerak yang tegas. Seudati bukan sekadar pertunjukan seni; ia adalah representasi dari ketangguhan masyarakat Aceh dalam mempertahankan nilai, keyakinan, dan semangat kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Tari Seudati berkembang kuat di wilayah Aceh Pidie dan diperkirakan telah ada sejak masa penyebaran Islam di Aceh. Dalam perkembangannya, tarian ini menjadi media dakwah, penyampai pesan moral, sekaligus sarana hiburan rakyat. Nama “Seudati” diyakini berasal dari kata “syahadat”, mencerminkan jejak pengaruh Islam yang sangat kental dalam struktur pertunjukannya. Nilai tersebut tercermin melalui syair-syair yang disampaikan para penari, biasanya berupa nasihat kehidupan, ajaran agama, hingga kritik sosial yang dibalut dengan bahasa puitis.
Yang membuat Seudati begitu khas adalah minimnya instrumen musik dalam pengiring tarian. Tidak ada rebana, gendang, atau alat perkusi lain yang biasanya menjadi tulang punggung tari tradisional Nusantara. Alih-alih, sumber bunyi berasal dari tubuh para penari itu sendiri: hentakan dada, tepukan tangan, pijakan kaki, dan teriakan yang membangun suasana. Keseluruhan elemen ini menyatu menjadi ritme yang energik dan menegangkan, menciptakan impresi kekuatan maskulin yang selama ini identik dengan karakter Seudati.
Dalam formasinya, Seudati biasanya ditarikan oleh delapan orang laki-laki: seorang syeh (pemimpin tarian), dua apeet wie, dua apeet bak, seorang aneuk syahi, dan dua aneuk cela. Masing-masing memiliki peran tertentu, mulai dari memimpin syair, mengatur tempo gerak, hingga melaksanakan variasi dinamika yang memperkaya komposisi koreografi. Struktur kepemimpinan yang jelas ini mencerminkan bagaimana masyarakat Aceh secara tradisional menempatkan koordinasi dan solidaritas sebagai prinsip penting dalam kehidupan sosial.
Ketika pertunjukan dimulai, para penari memasuki arena dengan langkah tegas dan hentakan ritmis. Sang syeh biasanya melantunkan syair pembuka, membangun koneksi dengan penonton sekaligus memberi aba-aba bagi para penari lainnya. Selanjutnya, gerakan tangan yang menghentak, badan yang sedikit membungkuk ke depan, dan kaki yang menghentak ke tanah menjadi rangkaian gerak dominan. Dengan tempo yang terus meningkat, pertunjukan Seudati mampu menimbulkan suasana intens yang memikat penonton dari awal hingga akhir.

Di balik kekuatannya sebagai seni pertunjukan, Seudati juga memiliki fungsi sosial yang sangat relevan. Syair-syair yang disampaikan tidak jarang menjadi cerminan realitas masyarakat Aceh: ketangguhan menghadapi musibah, pentingnya persatuan, atau ajakan untuk menjaga nilai moral. Pada masa lampau, tarian ini bahkan digunakan sebagai media komunikasi untuk menyebarkan informasi atau menyampaikan kritik kepada penguasa, terutama ketika jalur dialog formal tidak memungkinkan. Karena itu, Seudati memiliki posisi unik sebagai tarian sekaligus sarana ekspresi sosial.
Namun, seperti banyak tradisi lainnya, keberadaan Seudati menghadapi tantangan zaman. Perubahan pola hidup generasi muda, kurangnya regenerasi seniman, serta minimnya ruang pertunjukan membuat tarian ini sempat mengalami penurunan popularitas. Meski demikian, sejumlah komunitas seni di Aceh terus berupaya melestarikannya melalui festival budaya, pertunjukan lintas daerah, hingga program pembinaan di sekolah dan sanggar seni. Upaya ini membuahkan hasil: Seudati kini kembali muncul dalam berbagai agenda budaya nasional dan internasional sebagai simbol kebanggaan Aceh.
Dalam konteks pariwisata, Seudati menjadi salah satu atraksi budaya yang paling ditunggu wisatawan. Gerakannya yang eksplosif, syairnya yang penuh makna, dan keunikannya sebagai tarian tanpa alat musik memberikan pengalaman visual dan emosional yang kuat. Banyak wisatawan mengaku terpesona oleh harmoni gerak dan suara yang tercipta hanya dengan tubuh manusia. Bagi sebagian lainnya, Seudati menjadi pintu masuk untuk memahami falsafah hidup masyarakat Aceh yang tegas, religius, dan penuh semangat.
Lebih jauh, Tari Seudati adalah penanda bahwa identitas budaya tidak akan hilang selama masih ada komunitas yang merawat dan menghidupkannya. Tarian ini bukan hanya milik Aceh, tetapi juga bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang layak diperkenalkan kepada dunia. Dalam setiap hentakan kaki dan pekikan para penarinya, Seudati mengingatkan bahwa tradisi adalah kekuatan, dan dari sanalah masyarakat dapat menemukan jati diri serta kebanggaannya.
Jika dipandang sebagai warisan budaya, Seudati adalah bukti bahwa ekspresi seni dapat bertahan meskipun zaman terus berubah. Ia terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh dan tetap berdiri sebagai ikon seni tradisional yang kuat, dinamis, dan sarat nilai. Melalui pelestarian yang konsisten, Tari Seudati akan tetap menjadi denyut nadi kebudayaan Aceh dan Indonesia untuk masa yang akan datang.(ADV)






