aksarakata.id – Di berbagai pelosok Aceh, terutama di wilayah Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Besar, aroma hangat kue apam yang mengepul dari tungku tanah liat adalah pertanda datangnya sebuah tradisi tua yang terus hidup hingga kini: teut apam. Tradisi ini bukan sekadar kegiatan memasak bersama, tetapi sebuah ritus sosial dan budaya yang memadukan unsur religius, kebersamaan, serta penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur. Saat masyarakat di banyak tempat mulai meninggalkan tradisi komunal, teut apam justru tetap bertahan sebagai mekanisme menjaga hubungan sosial yang hangat.
Teut apam umumnya dilaksanakan pada bulan Rajab dalam penanggalan Hijriah. Di masa lalu, Rajab dikenal sebagai bulan persiapan sebelum memasuki Ramadan. Melalui teut apam, masyarakat Aceh mengungkapkan rasa syukur, berdoa memohon keselamatan, dan mengeratkan kembali hubungan antarkerabat. Namun, fungsi sosialnya tidak berhenti pada aspek keagamaan. Tradisi ini sekaligus menjadi forum temu keluarga, perbaikan hubungan, serta penguatan solidaritas komunitas.
Proses teut apam dimulai dengan persiapan bahan-bahan dasar: tepung beras, santan, kelapa parut, gula, dan sedikit garam. Semua bahan ini diolah untuk menciptakan adonan apam yang lembut dan beraroma harum. Peralatan tradisional seperti sagoe (cetakan logam) dan tungku berbahan kayu bakar masih digunakan di banyak desa. Peniadaan peralatan modern bukan sekadar soal ketertinggalan, melainkan bagian dari upaya menjaga kemurnian rasa serta pengalaman filosofis dari proses membuat kue tersebut. Panas api yang stabil, bunyi letupan kecil di cetakan, dan aroma santan yang mulai matang adalah rangkaian penanda bahwa tradisi ini telah berjalan sebagaimana mestinya sejak ratusan tahun lalu.
Dalam pelaksanaannya, perempuan memegang peran sentral. Mereka bekerja bersama, membagi tugas, dan memastikan ritme pembuatan apam berjalan tanpa kendala. Para laki-laki biasanya membantu menyiapkan kayu bakar, membersihkan area, atau mengurus keperluan tamu yang datang. Pembagian peran ini tidak bersifat kaku, melainkan hasil dari keseimbangan sosial yang telah terbangun turun-temurun. Lebih dari itu, teut apam menjadi ruang transfer pengetahuan antargenerasi. Anak-anak perempuan diajak belajar mengocok adonan, mengatur panas api, atau membalik apam tepat pada waktunya. Di sinilah kearifan kuliner Aceh diturunkan secara alamiah.
Makna utama teut apam tidak terletak pada bentuk atau rasa kuenya semata, tetapi pada ritual berbagi. Setelah apam matang, tuan rumah akan membagikannya kepada tetangga, kerabat, atau orang yang dianggap memiliki hubungan khusus, seperti guru mengaji dan tokoh masyarakat. Proses berbagi ini disebut peugot apam. Di banyak kampung, mengirim apam kepada seseorang dianggap sebagai simbol mempererat hubungan atau memperbaiki komunikasi yang renggang. Jika sebelumnya terdapat kesalahpahaman atau jarak emosional, pemberian apam bisa menjadi cara halus untuk membuka kembali pintu silaturahmi.

Para tokoh adat Aceh sering menggambarkan teut apam sebagai tradisi yang tidak hanya mengikat tubuh melalui makanan, tetapi juga mengikat hati melalui niat baik. Dalam konteks sosial modern, ketika hubungan manusia cenderung mekanis dan serba cepat, kehadiran ritual seperti ini membuat masyarakat kembali merasakan keintiman sosial yang jarang ditemukan. Tidak sedikit warga perantauan yang sengaja pulang kampung pada bulan Rajab untuk berpartisipasi dalam teut apam karena nilai emosionalnya yang kuat.
Meski demikian, modernisasi membawa tantangan tertentu. Generasi muda yang akrab dengan gaya hidup digital cenderung memandang tradisi ini sebagai ritual yang melelahkan atau memakan waktu. Beberapa keluarga mengganti kayu bakar dengan kompor gas, atau bahkan membeli apam jadi dari pasar. Meski perubahan tidak bisa dihindari, sebagian pemerhati budaya Aceh khawatir bahwa pengurangan unsur komunal dalam proses pembuatan apam dapat mengikis nilai utamanya. Untuk itu, berbagai komunitas dan lembaga budaya sering menyelenggarakan kegiatan edukasi dan festival teut apam sebagai cara melibatkan kembali generasi muda.
Namun secara umum, teut apam masih tetap bertahan sebagai tradisi yang dihargai. Setiap tahun, ketika bulan Rajab tiba, tungku-tungku kembali menyala. Asap tipis menjalar di antara rumah-rumah, diikuti suara percakapan yang akrab, tawa anak-anak, dan salam yang terus bersahutan. Semua ini menegaskan bahwa tradisi bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memilih menjaga identitasnya di tengah perubahan zaman.
Teut apam adalah narasi tentang kebersamaan, kesinambungan budaya, dan penghormatan terhadap nilai spiritual. Selama masih ada keluarga yang berkumpul untuk membuat apam, selama apam masih dibagikan sebagai tanda kasih dan silaturahmi, tradisi ini akan tetap hidup bukan sekadar sebagai kenangan budaya, tetapi sebagai bagian dari denyut sosial masyarakat Aceh.(ADV)






