aksarakata.id – Di sebuah pagi yang teduh di Aceh Jaya, aroma kopi dari dapur-dapur gampong bercampur dengan suara ayam jantan yang belum lelah menyambut hari. Namun pada satu titik, suasana itu berubah menjadi lebih khidmat. Di halaman meunasah yang telah dibersihkan sejak subuh, para tetua adat, pemuda, dan perempuan berbusana adat Aceh berkumpul untuk memulai satu prosesi yang hanya digelar pada momentum-momentum tertentu: Seumeuleung, sebuah tradisi penghormatan kepada raja atau pemimpin tertinggi dalam struktur adat Aceh masa lampau.
Bagi masyarakat Aceh Jaya, Seumeuleung bukan sekadar peninggalan sejarah. Ia adalah narasi hidup yang terus tumbuh, melewati generasi, dipertahankan sebagai penanda hubungan antara rakyat dan sosok pemimpin yang dijunjung. Dalam konteks kekinian, tradisi ini tidak lagi dipersembahkan kepada raja secara literal, tetapi tetap dilaksanakan sebagai bentuk penghargaan terhadap kepemimpinan, ketertiban sosial, dan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi fondasi masyarakat Aceh.
Prosesi pagi itu dimulai dengan iringan doa dan lantunan shalawat. Para peserta membentuk setengah lingkaran, sementara para tetua adat duduk di bagian tengah. Rangkaian ritual Seumeuleung berlangsung mengikuti pola turun-temurun: penyampaian penghormatan melalui gerakan tubuh yang khas, pernyataan amanat adat, serta penyerahan simbol-simbol adat yang menjadi metafora kesetiaan dan penghargaan rakyat kepada pemimpinnya. Tidak ada gerakan yang dibuat tanpa makna; setiap langkah, setiap tundukan kepala, dan setiap kalimat yang terucap mengandung pesan tentang keterikatan rakyat pada kepemimpinan yang adil dan beradab.
Menurut salah satu tetua adat yang memimpin jalannya prosesi, nilai utama dalam Seumeuleung terletak pada penguatan tata krama dan etika kepemimpinan. Tradisi ini, katanya, mencerminkan filosofi Aceh bahwa pemimpin bukan hanya tokoh administratif, tetapi simbol keseimbangan sosial. Dengan begitu, penghormatan bukan sekadar tindakan ritual, melainkan penegasan bahwa kehidupan masyarakat yang tertib harus bertumpu pada pemimpin yang mampu menjaga martabat dan nilai adat.
Mengamati jalannya prosesi, tampak bagaimana masyarakat Aceh Jaya berupaya menjaga kesinambungan tradisi yang terancam terkikis oleh modernisasi. Anak-anak muda yang hadir dalam balutan pakaian adat dilibatkan bukan sebagai ornamen seremoni, tetapi sebagai pewaris. Mereka mengikuti arahan para tetua, mencatat gerakan, mempelajari doa, dan memahami makna setiap bagian prosesi. “Jika generasi muda tidak mengenal Seumeuleung, maka tradisi ini hanya akan menjadi cerita,” ujar seorang pemangku adat yang turut hadir. “Karena itu, keterlibatan mereka adalah hal yang paling kita jaga.”

Pemerintah Aceh Jaya pun memberikan dukungan pada pelestarian tradisi seperti Seumeuleung. Melalui agenda kebudayaan, pemerintah daerah menyediakan ruang publik bagi sanggar seni, lembaga adat, dan organisasi pemuda untuk mendokumentasikan dan mengajarkan tradisi-tradisi lokal. Meski demikian, bagi sebagian masyarakat, pelestarian tidak cukup hanya dengan kegiatan seremonial tahunan. Seumeuleung harus tetap menjadi bagian dari kehidupan sosial, dipahami sebagai kebiasaan budaya yang merekatkan hubungan antargenerasi.
Kegiatan Seumeuleung tahun ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat memaknai kembali tradisi lama dalam konteks baru. Tanpa kehadiran raja sebagaimana dalam masa kerajaan Aceh, prosesi ini tetap dijalankan sebagai lambang penghormatan kepada nilai-nilai pemimpin ideal: adil, berwibawa, melindungi rakyat, serta menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab. Para peserta menyatakan bahwa ritual seperti ini diperlukan untuk mengingatkan masyarakat mengenai esensi kepemimpinan dalam budaya Aceh, yang tidak dapat dilepaskan dari norma adat.
Setelah prosesi utama selesai, masyarakat berkumpul menikmati hidangan khas Aceh Jaya. Dalam suasana penuh keakraban, cerita tentang masa lalu kembali bertebaran: kisah raja-raja Aceh, masa kejayaan kerajaan, dan bagaimana adat Seumeuleung dahulu menjadi simbol hubungan politik dan sosial antara pemimpin dan rakyat. Bagi para tetua, momen ini tidak hanya menghangatkan nostalgia, tetapi juga menjadi cara untuk memastikan bahwa generasi muda memahami konteks historis tradisi yang mereka saksikan.
Seumeuleung, pada akhirnya, bukan sekadar ritual adat. Ia adalah rangkuman nilai kolektif: rasa hormat, kepatuhan pada adat, ketertiban sosial, serta keyakinan bahwa sebuah masyarakat hanya dapat berdiri teguh jika dipimpin oleh orang yang menjunjung nilai luhur. Aceh Jaya, lewat komitmennya mempertahankan prosesi ini, memberikan pesan bahwa tradisi bukan hambatan bagi kemajuan, melainkan aset budaya yang menguatkan jati diri di tengah perubahan.
Dengan demikian, Seumeuleung tetap berdenyut sebagai bagian penting dari identitas Aceh Jaya. Setiap kali tradisi itu digelar, masyarakat bukan hanya memanggil kembali kenangan masa kerajaan, tetapi juga merayakan kelanjutan nilai-nilai budaya yang menjadi dasar kehidupan mereka hingga hari ini.(ADV)






