Khanduri Laut Wujud Syukur Warga Pesisir Aceh

Advertorial14 Dilihat

aksarakata.id, – Di sepanjang garis pantai Aceh yang membentang dari ujung barat hingga timur, masyarakat pesisir memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kepada laut. Tradisi itu dikenal sebagai Khanduri Laut, sebuah ritual adat yang telah diwariskan lintas generasi dan tetap bertahan di tengah modernisasi yang mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat. Bagi warga nelayan, Khanduri Laut bukan sekadar upacara simbolik, melainkan bentuk komitmen kultural untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Khanduri Laut biasanya digelar sekali dalam setahun, umumnya pada awal musim melaut atau setelah melewati periode paceklik. Di beberapa daerah seperti Aceh Timur, Aceh Jaya, dan Aceh Besar, waktu pelaksanaannya bahkan diatur berdasarkan musyawarah para tetua kampung, panglima laot, serta tokoh adat setempat. Pada hari yang ditentukan, masyarakat berkumpul di pesisir sejak pagi membawa berbagai sajian untuk didoakan bersama. Ikan hasil tangkapan terbaik, pulut kuning, serta aneka hidangan khas tradisional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ritual tersebut.

Panglima laot, tokoh adat yang memimpin urusan bahari di Aceh, memegang peranan sentral dalam jalannya khanduri. Ia bertugas memimpin doa, membaca selawat, dan memberikan arahan kepada para nelayan mengenai aturan adat laut yang harus dipatuhi. Tradisi ini tidak hanya mengandung nilai spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga ketertiban di laut, termasuk pengaturan zona tangkap, larangan penggunaan alat tangkap merusak, serta penyelesaian sengketa antar nelayan.

Di Gampong Lampulo, Banda Aceh, misalnya, ratusan warga berkumpul di tepi pantai untuk menyaksikan prosesi pelepasan sesaji ke laut. Prosesi ini biasanya dilakukan menggunakan sebuah perahu kecil yang dihias sederhana. Sesaji tersebut bukan untuk “memberi makan” laut, melainkan sebagai simbol rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan serta doa agar para nelayan selalu dijauhkan dari marabahaya. Bagi masyarakat setempat, laut bukan sekadar sumber ekonomi; laut adalah bagian dari kehidupan yang harus dihormati.

masyarakat melakukan khanduri laot

Nilai kebersamaan menjadi salah satu aspek yang paling mencolok dalam Khanduri Laut. Seluruh rangkaian acara berlangsung melalui kerja kolektif. Mulai dari menyiapkan hidangan, mengatur tempat ritual, hingga membersihkan pantai sebelum dan sesudah acara, semuanya dilakukan gotong royong. Di tengah arus individualisme yang semakin meningkat, khanduri hadir sebagai pengingat bahwa kekuatan komunitas adalah modal sosial yang sangat penting untuk bertahan hidup, khususnya di kawasan pesisir yang rentan terhadap bencana alam.

Kehadiran wisatawan dan dokumentasi media dalam beberapa tahun terakhir ikut memberikan warna baru terhadap penyelenggaraan tradisi ini. Di wilayah pesisir Aceh Barat, misalnya, pemerintah daerah turut mempromosikan Khanduri Laut sebagai salah satu atraksi budaya. Namun, tokoh adat memastikan bahwa inti ritual tetap dijaga dan tidak diubah hanya demi kepentingan pariwisata. Bagi mereka, mempertahankan kemurnian nilai adat jauh lebih penting daripada menjadikannya hiburan semata.

Meski demikian, transformasi sosial tidak dapat dihindari sepenuhnya. Generasi muda Aceh yang tumbuh di era digital mulai melihat tradisi ini melalui perspektif baru. Banyak dari mereka mendokumentasikan khanduri melalui video pendek, foto, serta cerita di media sosial. Bagi sebagian tetua adat, hal ini justru menjadi peluang positif untuk memperkenalkan kearifan lokal kepada masyarakat luas. Dengan cara itu, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tetap dapat bertahan dan dikenal hingga lintas generasi.

Di balik gemerlap prosesi dan keramaian masyarakat, Khanduri Laut juga mengandung pesan ekologis yang sangat relevan dengan kondisi saat ini. Laut Aceh yang selama puluhan tahun menjadi sumber mata pencaharian utama warga kini menghadapi tekanan berat. Penurunan populasi ikan, abrasi pantai, serta peningkatan sampah laut menjadi tantangan nyata bagi masyarakat pesisir. Melalui ritual khanduri, masyarakat seolah diingatkan bahwa menjaga laut bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau komunitas tertentu, tetapi kewajiban bersama.

Meskipun simbolik, khanduri membangun kesadaran kolektif bahwa keberlanjutan ekosistem sangat bergantung pada perilaku manusia. Saat panglima laot menegaskan kembali larangan menangkap ikan dengan bahan peledak atau racun, pesan itu bukan sekadar aturan adat, tetapi seruan agar masyarakat lebih bijak dan bertanggung jawab dalam memanfaatkan sumber daya alam. Di banyak gampong, aturan adat laut terbukti lebih dihormati dan dipatuhi dibandingkan regulasi formal pemerintah.

Pada akhirnya, Khanduri Laut bukan sekadar ritual tahunan yang meramaikan kehidupan pesisir Aceh. Ia adalah warisan budaya yang terus hidup, menegaskan hubungan harmonis antara manusia dan alam, menumbuhkan rasa syukur, memperkuat solidaritas sosial, sekaligus mengajarkan pentingnya menjaga kelestarian laut. Tradisi ini menjadi cermin bagaimana masyarakat Aceh memaknai kehidupan: sederhana, penuh rasa hormat terhadap alam, dan selalu mengutamakan kebersamaan.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *