aksarakata.id, Banda Aceh – Setiap menjelang Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha, masyarakat Aceh memiliki sebuah tradisi yang terus hidup lintas generasi yakni Meugang. Tradisi ini bukan sekadar kebiasaan membeli dan memasak daging secara massal, tetapi juga representasi nilai-nilai sosial, spiritual, dan kultural yang menjadi bagian penting dari identitas kolektif masyarakat Aceh. Meugang telah berlangsung selama ratusan tahun dan masih dijalankan dengan penuh antusiasme hingga kini.
Pada pagi hari menjelang Meugang, suasana pasar-pasar tradisional di Aceh menghangat. Para pedagang daging, baik sapi maupun kambing, menyiapkan pasokan dalam jumlah besar. Para pembeli mulai berdatangan sejak subuh, dan tidak jarang antrean panjang terbentuk di depan lapak-lapak penjual. Harga daging biasanya meningkat signifikan pada hari-hari ini, tetapi hal tersebut tidak mengurangi minat masyarakat. Dalam konteks Meugang, membeli daging bukan semata soal kebutuhan pangan, melainkan kewajiban budaya dan bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Menurut penuturan beberapa warga, Meugang bukan hanya tentang makan daging bersama keluarga, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap orang, tanpa memandang kondisi ekonomi, dapat menikmati hidangan istimewa. Karena itu, bantuan kepada tetangga kurang mampu, pemberian daging kepada kerabat, atau memasak dalam jumlah lebih untuk dibagikan kepada sesama menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik Meugang. Spirit kebersamaan ini telah menjadikan Meugang sebagai salah satu tradisi dengan nilai sosial tinggi di Aceh.
Dalam banyak keluarga Aceh, persiapan Meugang menjadi momen penuh kehangatan. Para ibu mempersiapkan bumbu dan rempah tradisional, para anggota keluarga lainnya membantu menyiapkan daging, sementara aroma masakan khas seperti kuah beulangong, gulai daging, atau semur meugang memenuhi rumah. Aktivitas memasak bersama ini menjadi ruang untuk memperkuat hubungan antaranggota keluarga, berbagi cerita, dan melibatkan anak-anak dalam tradisi yang terus dipertahankan.
Di beberapa daerah, Meugang juga melibatkan ritual-ritual tertentu, seperti pembacaan doa bersama atau ziarah ke makam keluarga setelah makanan tersaji. Kebiasaan ini mencerminkan dimensi spiritual Meugang, yang bukan hanya berorientasi pada konsumsi makanan, tetapi juga pada refleksi, doa, dan penguatan hubungan dengan leluhur. Tradisi yang kuat ini mencerminkan perpaduan antara nilai Islam dan adat setempat, yang sejak lama berjalan berdampingan dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Meskipun demikian, Meugang bukan tanpa tantangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Kenaikan harga daging pada hari-hari menjelang Meugang sering menjadi beban. Namun, norma sosial di Aceh biasanya memungkinkan famili, jiran tetangga, atau komunitas setempat untuk saling membantu. Tidak jarang pula pemerintah daerah atau lembaga-lembaga sosial mengadakan kegiatan pembagian daging dalam rangka meringankan beban masyarakat kurang mampu agar tetap dapat menjalankan tradisi ini.
Bagi sebagian masyarakat Aceh yang merantau, Meugang memiliki nilai emosional yang lebih mendalam. Mereka yang tinggal di luar Aceh sering kali berusaha pulang kampung untuk merayakan Meugang bersama keluarga. Jika tidak memungkinkan, komunitas perantau biasanya mengadakan Meugang versi mereka sendiri di kota-kota besar di Indonesia bahkan di luar negeri. Hal ini menunjukkan bagaimana Meugang bergerak melampaui batas geografis dan tetap melekat sebagai identitas budaya.
Para peneliti kebudayaan Aceh menilai bahwa Meugang berperan penting sebagai mekanisme pemersatu masyarakat. Tradisi ini menciptakan ruang bagi partisipasi kolektif dan memastikan bahwa nilai-nilai gotong royong, solidaritas sosial, serta penghargaan terhadap keluarga tetap terjaga. Dengan intensitas pelaksanaannya yang hanya terjadi beberapa kali dalam setahun, Meugang menjadi momen berharga untuk memperbarui ikatan sosial yang dalam kehidupan sehari-hari mungkin terabaikan.
Di tengah modernisasi, Meugang tetap bertahan. Supermarket dan restoran modern mungkin menggantikan sebagian aktivitas belanja dan memasak, tetapi esensi perayaannya yakni makan daging bersama keluarga dan berbagi dengan sesame tetap dipertahankan. Banyak keluarga muda Aceh berusaha menjaga tradisi ini agar tidak pudar, baik dengan cara memasak di rumah maupun ikut serta dalam kegiatan komunitas.
Keunikan Meugang telah menarik perhatian wisatawan dan peneliti budaya dari berbagai daerah. Bagi mereka, Meugang bukan hanya sebuah tradisi menarik, tetapi juga jendela untuk memahami karakter masyarakat Aceh yang religius, komunal, dan menjunjung tinggi adat. Tidak sedikit pula konten budaya, dokumenter, dan liputan media yang secara rutin menyoroti tradisi ini.
Dengan akar sejarah yang kuat dan nilai sosial yang tinggi, Meugang tidak hanya menjadi ritual menjelang hari besar keagamaan, tetapi juga simbol kebersamaan, keberlanjutan budaya, dan kekayaan kuliner Aceh. Selama masyarakat Aceh terus merayakannya dengan penuh makna, Meugang akan tetap hidup sebagai bagian penting dari identitas dan kebanggaan budaya yang diwariskan lintas generasi.(ADV)












