Rapai Pase Bukti Nafas Panjang Warisan Pasee yang Terus Menggema

Advertorial18 Dilihat

aksarakata.id  – Di sebuah sore yang perlahan berubah temaram di Desa Meunasah Blang, Kecamatan Syamtalira Aron, deretan rumah kayu tampak disinari cahaya jingga matahari. Namun perhatian warga tertuju bukan pada langit, melainkan pada suara hentakan ritmis yang menggetarkan tanah. Denting itu datang dari sebuah balai adat yang berdiri tak jauh dari sawah. Di situlah sekelompok pemuda tengah menyusun setengah lingkaran, masing-masing memegang alat musik bundar yang dikenal oleh orang Aceh sebagai Rapai Pase.

Begitu pelatih memberi aba-aba, puluhan tangan bergerak serempak. Tidak ada jeda, tidak ada nada yang meleset. Tabuhan cepat dan terstruktur itu seolah menyatukan para pemain menjadi satu tubuh yang sama—bergerak, bernapas, dan bergetar dalam harmoni yang penuh semangat. Melihatnya, sulit untuk tidak merasakan bahwa Rapai Pase bukan hanya alat musik; ia adalah denyut nadi budaya Pasee yang telah mengaliri masyarakatnya selama ratusan tahun.

Rapai Pase tidak dapat dipisahkan dari masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasee, salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Para peneliti seni Aceh berpendapat bahwa rapai telah menjadi bagian dari tradisi dakwah dan pertunjukan sejak abad ke-16. Pada masa itu, irama rapai digunakan untuk mengundang masyarakat menghadiri majelis ilmu, menyambut tamu kerajaan, hingga mengiringi upacara adat.

“Rapai itu dulu bukan sekadar hiburan. Ia adalah alat komunikasi sosial,” ujar Tgk. Abdullah Ramli, seorang budayawan Aceh Utara yang telah meneliti rapai selama dua dekade. Menurutnya, terdapat sejumlah pola tabuhan yang masing-masing memikul makna tersendiri. Ada tabuhan yang melambangkan syukur atas panen, ada yang mengekspresikan keberanian, dan ada pula tabuhan yang menjadi isyarat solidaritas antarwarga.

Keterampilan yang Dibentuk oleh Disiplin

Dalam satu kelompok Rapai Pase, jumlah pemain bisa mencapai 15 sampai 30 orang. Mereka harus bergerak dalam keserempakan sempurna: tangan menepuk rapai dengan ritme cepat, tubuh sedikit condong ke depan, dan kaki bergerak mengikuti irama. Latihan bisa berlangsung berjam-jam, karena sedikit saja kesalahan dapat membuat seluruh formasi ritme runtuh.

“Yang paling sulit adalah menjaga stamina dan transisi pola,” tutur M. Yusri, seorang pemain muda dari Kecamatan Tanah Pasir. Ia mulai belajar rapai sejak usia 10 tahun, tepat ketika ayahnya mengajaknya menonton festival seni desa. Baginya, setiap tabuhan adalah bagian dari identitas pribadi sekaligus identitas daerah. “Ada rasa bangga ketika kami tampil di depan umum. Seolah-olah kami membawa nama Pasee.”

Kelompok rapai umumnya memiliki struktur internal yang rapi. Ada pelatih, penentu tempo, serta pemain inti dan pendamping. Mereka mempelajari berbagai pola tabuhan seperti saleum, rang-rang, geurimpheng, dan seudu. Masing-masing pola memiliki teknik dan gaya pukulan yang berbeda, sehingga menuntut latihan intensif dan kepekaan musikal yang tinggi.

Di tengah arus budaya populer yang semakin kuat, Rapai Pase tetap menemukan tempatnya di hati generasi muda. Banyak sekolah dan pesantren kini memasukkan latihan rapai dalam kegiatan ekstrakurikuler. Beberapa sanggar kesenian juga merekrut anak-anak berusia belia untuk mempelajari teknik dasar sejak dini.

Pemerintah daerah Aceh Utara turut melihat potensi besar seni tradisi ini, baik sebagai pelestarian budaya maupun sebagai daya tarik wisata. Festival rapai, pertunjukan antar-kecamatan, hingga kompetisi tingkat kabupaten rutin digelar. Pada musim liburan, pengunjung dari luar daerah datang menyaksikan pertunjukan rapai di lapangan-lapangan desa.

“Rapai itu unik karena semangatnya terasa langsung di dada,” ujar Safrina, wisatawan dari Medan yang menghadiri sebuah festival rapai di Lhoksukon. “Kita tidak hanya mendengar musik, tetapi ikut merasakan energi para pemainnya.”

Beberapa tahun terakhir, sejumlah kelompok seni mencoba memasukkan Rapai Pase ke dalam musik kontemporer. Rapai dipadukan dengan gitar, bass, atau bahkan instrumen elektronik. Tujuannya bukan untuk meninggalkan akar tradisi, melainkan untuk memperluas ruang apresiasi bagi generasi muda.

Di sebuah studio kecil di Kecamatan Muara Batu, sekelompok musisi lokal tengah mengerjakan rekaman lagu yang memadukan irama rapai dengan vokal modern. “Kami ingin menunjukkan bahwa rapai bisa hidup di berbagai panggung; tidak hanya panggung adat, tetapi juga panggung musik modern,” kata salah satu produser musik tersebut.

Upaya-upaya seperti ini menunjukkan bahwa Rapai Pase bukan tradisi statis. Ia bergerak mengikuti zaman, tetapi tetap setia pada karakter ritmis yang menjadi ruhnya.

Ketika Warisan Menjadi Janji Masa Depan

Pada malam hari, balai adat di Desa Meunasah Blang kembali terang oleh lampu-lampu minyak. Pemain muda berkumpul, mengulang latihan yang sama seperti puluhan tahun sebelumnya. Alunan rapai memecah keheningan malam, membawa serta bayang-bayang sejarah yang terus diwariskan.

Bagi masyarakat Pase, Rapai Pase adalah milik bersama. Ia adalah suara leluhur, jejak sejarah, serta simbol kekompakan komunitas. Tetapi lebih dari itu, ia kini menjadi suara masa depan suara generasi yang berjanji untuk tidak membiarkan tradisi ini hilang ditelan waktu.

Dan selama denting itu masih terdengar di balai adat, di festival budaya, atau di tengah kreasi musik modern Rapai Pase akan tetap menjadi salah satu mahkota budaya Aceh Utara yang paling berharga.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *