Sie Reuboh Warisan Rasa dari Dapur Tradisi Aceh yang Terus Diminati

Advertorial19 Dilihat

aksarakata.id – Di antara ragam kuliner tradisional Aceh, sie reuboh menempati posisi yang unik. Masakan daging berbalut cuka aren dan rempah ini memiliki cerita panjang tentang ketahanan, kearifan lokal, serta kemampuan masyarakat Aceh dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk memastikan pasokan pangan tetap terjaga. Kini, ketika gaya hidup modern mengubah cara masyarakat mengolah dan menyimpan makanan, sie reuboh tetap hidup tidak hanya di dapur-dapur pedesaan, tetapi juga di restoran, festival kuliner, hingga ruang digital yang memperkenalkannya ke khalayak yang lebih luas.

Sie reuboh secara harfiah berarti “daging rebus”, namun bagi masyarakat Aceh Besar, namanya jauh lebih dalam daripada terjemahan tersebut. Hidangan ini adalah simbol ketahanan pangan masa lalu, ketika kulkas belum tersedia dan masyarakat harus menemukan cara untuk membuat daging tetap awet dalam waktu lama. Cuka aren dan garam menjadi komponen utama, berfungsi sebagai pengawet alami. Daging yang biasanya berasal dari sapi atau kerbau dipotong kecil, direbus bersama lemak, lalu dimasak perlahan hingga bumbu meresap dan minyak alami keluar untuk melapisi permukaannya. Proses ini memungkinkan sie reuboh bertahan berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, tanpa kehilangan cita rasa.

Di Gampong Lampineung, misalnya, tradisi membuat sie reuboh masih dilakukan setiap kali keluarga menyembelih ternak untuk acara besar. Aisyah, 57 tahun, seorang ibu rumah tangga yang mewarisi resep turun-temurun, menjelaskan bahwa prosesnya dimulai dengan persiapan bumbu sederhana: bawang merah, bawang putih, cabe merah giling, kunyit, dan yang tidak kalah penting, cuka enau yang memiliki aroma khas. “Cuka ini kunci,” katanya. “Tanpa cuka enau, rasanya tidak akan sama. Aromanya itu yang memberi jejak khas sie reuboh.”

Selain menjadi simbol keberlanjutan pangan, sie reuboh juga memegang peran sosial dalam masyarakat. Biasanya, makanan ini muncul pada perayaan atau ketika ada tamu yang datang dari jauh. Dalam aktivitas gotong royong—seperti membangun rumah, panen padi, atau persiapan kenduri—sie reuboh kerap menjadi hidangan utama yang menambah energi para pekerja. Kehadirannya di meja makan menciptakan kesan hangat, mempererat hubungan antarwarga, dan memperkuat identitas komunal.

Namun, memasuki era modern, generasi muda tidak lagi sepenuhnya terhubung dengan proses pengolahannya. Banyak yang lebih mengenal sie reuboh sebagai makanan rumah makan dibandingkan masakan rumahan yang membutuhkan waktu dan kesabaran. Meskipun demikian, permintaan terhadap hidangan ini justru meningkat. Di Banda Aceh, beberapa restoran mengangkat kembali sie reuboh sebagai menu unggulan, bahkan menyajikannya dalam gaya kontemporer seperti sie reuboh suwir, sie reuboh dengan nasi gurih, hingga varian yang dipadukan dengan roti canai.

Rahmad, seorang pengusaha kuliner muda di kawasan Peunayong, melihat tren tersebut sebagai peluang. Ia menambahkan sedikit sentuhan modern tanpa menghilangkan karakter dasarnya.

“Anak muda suka yang praktis. Jadi kami olah dagingnya menjadi lebih lembut dan mudah disantap. Tetap pakai cuka enau, tetap pakai lemak asli, tetapi teknik penyajiannya kami sesuaikan dengan preferensi saat ini,” ujarnya.

Strategi itu berhasil, membuat sie reuboh dikenal generasi yang mungkin tidak lagi akrab dengan dapur tradisional.

Sie Reuboh

Meski berkembang, tidak sedikit pegiat kuliner Aceh yang menekankan pentingnya menjaga keaslian rasa. Mereka menilai bahwa modernisasi boleh dilakukan, tetapi nilai budaya yang terkandung harus tetap dilestarikan. Hal itu mengingatkan bahwa sie reuboh bukan sekadar masakan; ia adalah bagian dari sejarah kuliner Aceh yang mencerminkan cara masyarakat menghargai bahan makanan, menghadapi keterbatasan teknologi, dan menjaga kebersamaan.

Dalam konteks lebih luas, sie reuboh juga menjadi representasi bagaimana kuliner tradisional dapat bertahan menghadapi globalisasi. Ketika makanan cepat saji dan produk instan semakin mendominasi pasar, hidangan seperti sie reuboh menawarkan alternatif yang tidak hanya lezat, tetapi juga sarat makna. Proses pengolahannya mengajarkan kesabaran, pemahaman tentang rempah, serta pemanfaatan bahan alami secara optimal.

Kini, berbagai upaya dilakukan untuk memperkenalkan sie reuboh ke tingkat nasional. Melalui festival kuliner, konten kreator, hingga gerakan UMKM lokal, hidangan ini semakin dikenal di luar Aceh. Banyak wisatawan yang menjadikannya oleh-oleh kuliner, terutama dalam bentuk kemasan siap santap yang dapat bertahan lama. Ini menjadi bukti bahwa warisan tradisi dapat diadaptasi tanpa kehilangan jati diri.

Perjalanan sie reuboh dari dapur tradisional hingga ke panggung kuliner modern menunjukkan bahwa sebuah hidangan dapat menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia membawa cerita tentang keluarga, komunitas, dan budaya, sekaligus membuka peluang ekonomi baru di tengah perkembangan zaman. Pada akhirnya, keberlanjutan sie reuboh bukan hanya soal mempertahankan resep, tetapi bagaimana masyarakat Aceh terus menghargai nilai-nilai yang melingkupinya.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *