Tarek Pukat Jejak Budaya Pesisir Aceh yang Menjala Kisah dan Kebersamaan

Advertorial15 Dilihat

aksarakata.id – Di pesisir utara Aceh, ketika matahari mulai condong ke barat dan angin laut membawa aroma asin yang khas, sekelompok penari mulai membentuk lingkaran. Mereka menundukkan tubuh, menggerakkan tangan dengan ritme teratur, seolah-olah sedang menarik sesuatu yang berat. Itulah Tarek Pukat salah satu tari tradisional Aceh yang terinspirasi dari aktivitas nelayan saat menghela pukat (jarring-red) dari laut. Lebih dari sekadar pertunjukan, Tarek Pukat merupakan cerminan hidup masyarakat pesisir yang menggantungkan harapan pada hasil tangkapan serta hubungan erat yang terbangun melalui kerja sama.

Tarek Pukat dikenal sebagai tari yang ekspresif dan penuh dinamika. Dalam pertunjukan, para penari menampilkan gerakan yang kompak, serempak, dan bersusun. Iringan musik rapa’i atau serune kale memberi denyut pada setiap langkah mereka. Nilai kerja kolektif tergambar jelas melalui gerakan tangan yang memanjang ke depan, kemudian ditarik ke belakang dengan tenaga terukur. Gerakan tersebut menjadi simbol dari upaya menarik jaring besar dari laut, sebuah aktivitas yang lazim membutuhkan banyak orang. Kekuatan utama Tarek Pukat memang terletak pada harmoni gerak dan makna kebersamaan.

Dosen seni pertunjukan dan peneliti budaya Aceh sering menggambarkan tari ini sebagai “narasi tubuh” tentang kehidupan pesisir. Tidak hanya gerakannya yang merepresentasikan kerja nelayan, tetapi juga formasi dan tempo tari yang mengikuti ritme laut tenang, lalu meningkat, kemudian kembali landai. Penonton dapat merasakan perubahan energi itu, seakan-akan diajak merasakan langsung suasana di bibir pantai ketika pukat ditarik dari air. Keaslian pengalaman itulah yang membuat Tarek Pukat memiliki karakter tersendiri dibandingkan tarian Aceh lainnya seperti Saman atau Seudati.

Dalam sejarahnya, Tarek Pukat diyakini muncul dari tradisi masyarakat Aceh pesisir yang ingin menghormati laut sebagai sumber kehidupan. Walaupun tidak memiliki tanggal pasti mengenai asal-usulnya, tarian ini telah lama hadir dalam berbagai kegiatan adat dan perayaan lokal. Dahulu, pertunjukan Tarek Pukat sering dilakukan setelah musim melaut yang sukses atau pada acara syukuran kampung. Seiring waktu, tarian ini kemudian dipentaskan pada kegiatan budaya tingkat daerah hingga nasional, menjadi salah satu representasi identitas Aceh di panggung seni Indonesia.

Salah satu elemen yang menarik dalam Tarek Pukat adalah penggunaan kostum yang sederhana namun sarat makna. Penari perempuan biasanya mengenakan baju kurung dengan warna cerah dan selendang yang diikat di pinggang. Penari laki-laki, jika terlibat, umumnya memakai pakaian tradisional Aceh yang lebih maskulin dengan warna tegas. Warna-warna tersebut sering dihubungkan dengan suasana pesisir biru laut, kuning keemasan matahari sore, serta merah yang mewakili semangat bekerja. Semua elemen visual tersebut memperkuat karakter dramatik Tarek Pukat tanpa perlu tambahan properti panggung yang rumit.

Proses kreatif di balik pertunjukan Tarek Pukat tidak kalah penting untuk dipahami. Para koreografer yang mengembangkan tari ini biasanya berangkat dari pengamatan langsung terhadap aktivitas nelayan. Mereka mempelajari ritme kerja, bentuk tubuh saat menarik pukat, dan ekspresi kebersamaan ketika para nelayan menyelesaikan tugas berat secara kolektif. Unsur-unsur tersebut kemudian diterjemahkan menjadi rangkaian gerak yang estetis namun tetap mempertahankan nilai keekspresifan. Oleh karena itu, meskipun Tarek Pukat terus mengalami modernisasi pada beberapa kelompok seni, esensi gerak utamanya masih dirawat hingga sekarang.

Di berbagai sanggar seni di Banda Aceh, Lhokseumawe, dan daerah lain di sepanjang pesisir, Tarek Pukat menjadi materi wajib yang diajarkan kepada generasi muda. Para pelatih menekankan bahwa tarian ini bukan hanya soal hafalan gerak, tetapi juga penghayatan terhadap nilai gotong royong. Bagi mereka, memahami Tarek Pukat berarti memahami sikap masyarakat Aceh yang teguh bekerja sama, saling membantu, serta menghargai hasil kerja kolektif.

Upaya pelestarian Tarek Pukat terus dilakukan, baik oleh pemerintah daerah, komunitas seniman, maupun lembaga pendidikan. Berbagai festival budaya rutin menampilkan Tarek Pukat sebagai bagian dari agenda utama. Di beberapa sekolah, tarian ini bahkan diajarkan dalam ekstrakurikuler seni budaya. Hal ini menjadi bagian penting dari strategi mempertahankan warisan budaya agar tidak tergerus arus modernisasi.

Dalam konteks pariwisata, Tarek Pukat juga memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu daya tarik utama Aceh. Pertunjukan tarian ini sering menjadi pembuka acara sambutan wisatawan, memberikan gambaran awal tentang identitas masyarakat pesisir yang ramah dan bekerja keras. Banyak wisatawan yang merasa terkesan oleh keserempakan gerak penari, energi kolektif yang dipancarkan, dan pesan harmoni yang tersirat.

Tarek Pukat bukan sekadar tari tradisional. Ia adalah arsip hidup yang merangkum keteguhan masyarakat pesisir Aceh dalam menghadapi tantangan alam dan ekonomi. Di tengah perubahan zaman, Tarek Pukat hadir sebagai pengingat bahwa kerja sama dan kebersamaan merupakan fondasi yang tidak akan lekang oleh waktu. Selama nilai-nilai itu tetap dijaga, Tarek Pukat akan selalu menjadi denyut budaya yang mengikat masyarakat Aceh dengan laut dan warisan leluhur mereka.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *