Tari Ranup Lampuan, Simbol Kehalusan Adat Aceh yang Terus Berkelindan dengan Zaman

Advertorial13 Dilihat

aksarakata.id – Di antara kekayaan seni pertunjukan Nusantara, Tari Ranup Lampuan menempati posisi istimewa sebagai representasi keanggunan budaya Aceh. Tarian penyambutan tamu ini bukan sekadar rangkaian gerak ritmis, melainkan perangkat komunikasi budaya yang merangkum nilai kesopanan, penghormatan, dan keramahan masyarakat Aceh. Di tengah arus modernisasi yang kian deras, tarian ini tetap bertahan sebagai simbol identitas kultural sekaligus medium diplomasi kesenian.

Tari Ranup Lampuan berasal dari kata “ranup” yang berarti sirih dan “lampuan” yang merujuk pada dulang atau wadah. Dalam tradisi Aceh, menyuguhkan sirih kepada tamu adalah bentuk penghormatan tertinggi, penanda bahwa seseorang diterima dengan sepenuh hati. Filosofi tersebut kemudian diinstitusikan ke dalam sebuah karya tari yang mulai berkembang pada paruh pertama abad ke-20. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tarian ini mulai distandardisasi pada 1950-an oleh para seniman Aceh, dan sejak itu menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap acara resmi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Keunikan Tari Ranup Lampuan terletak pada struktur geraknya yang lembut, terukur, dan penuh etiket. Para penari perempuan mengenakan busana adat Aceh yang kaya ornamen, dengan dominasi warna merah, emas, dan hitam yang melambangkan keperkasaan, kemuliaan, dan kewibawaan. Di tangan para penari terselip “pankah ranup”, yakni wadah kecil berisi sirih yang akan disuguhkan pada momentum tertentu dalam tarian. Elemen ini menjadi ikon utama yang membedakan Ranup Lampuan dari tarian penyambutan di daerah lain.

Saat musik tradisional Aceh mengalun—diiringi serune kale, rapai, dan geundrang—para penari bergerak memasuki arena dengan langkah-langkah halus yang disusun sedemikian rupa agar memancarkan efek visual yang anggun. Setiap gerakan memiliki maksud. Anek gerak seperti “sembah”, “peusijuek”, dan “likok” merupakan representasi penghormatan yang bersifat sakral. Pengendalian ekspresi wajah menjadi aspek penting: para penari harus memancarkan kelembutan dan keteduhan tanpa kehilangan ketegasan dalam teknik. Keanggunan itu menjadi pemandangan yang kerap menarik kekaguman, baik bagi masyarakat lokal maupun wisatawan mancanegara.

Walau berakar pada tradisi kuno, Tari Ranup Lampuan tidak berhenti sebagai artefak masa lalu. Banyak sanggar tari di Aceh, seperti Sanggar Cut Nyak Dhien dan sejumlah komunitas seni kampus, berupaya mempertahankan relevansinya melalui inovasi yang tetap menghormati pakem. Beberapa pengembangan dilakukan pada aspek musik dan formasi panggung untuk menyesuaikan kebutuhan pertunjukan kontemporer. Namun inti filosofis yakni ungkapan penghormatan kepada tamu tetap dijaga dengan ketat.

Dalam sebuah wawancara  yang menggambarkan pandangan pelaku seni, seorang koreografer dari Banda Aceh pernah menyatakan bahwa Ranup Lampuan merupakan “bahasa sopan santun Aceh yang diterjemahkan ke dalam tubuh perempuan.” Menurutnya, ketika seorang penari tampil, ia membawa identitas komunitasnya dan memikul tanggung jawab budaya. Hal tersebut menjadikan latihan Ranup Lampuan bukan sekadar belajar teknik gerak, melainkan proses internalisasi nilai adat.

Peran Tari Ranup Lampuan juga melampaui panggung lokal. Tarian ini kerap ditampilkan sebagai bagian dari diplomasi budaya Indonesia di berbagai forum internasional. Dari festival seni di Kuala Lumpur hingga pertunjukan khusus di Belanda, Ranup Lampuan hadir sebagai pengingat bahwa Indonesia memiliki keragaman ekspresi budaya yang mendalam dan bernilai tinggi. Dalam konteks turisme, tarian ini sering menjadi pintu masuk bagi wisatawan untuk mengenal tradisi Aceh lebih jauh, terutama setelah sektor pariwisata daerah bangkit kembali pascabencana tsunami 2004.

Generasi muda Aceh memegang peran penting dalam keberlanjutan tarian ini. Di sekolah-sekolah, ekstrakurikuler seni tari menjadi ruang pembibitan para penari baru. Tidak sedikit anak-anak yang sejak usia belia telah dilatih memahami fungsi ranup, etika dalam tari, dan makna budaya yang melatari setiap gerak. Di era media sosial, video Tari Ranup Lampuan yang ditampilkan dengan produksi modern juga membantu memperluas jangkauan penonton dan meningkatkan minat publik.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Globalisasi gaya hidup dan menurunnya minat generasi urban terhadap seni tradisional menjadi ancaman yang harus ditangani dengan strategi inovatif. Para pemangku budaya menyadari bahwa mempertahankan Tari Ranup Lampuan membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, termasuk integrasi dengan industri kreatif, festival budaya, dan kurikulum pendidikan formal. Pemerintah daerah juga terus mendorong pelestarian melalui program pelatihan, pagelaran rutin, dan dukungan terhadap sanggar-sanggar lokal.

Pada akhirnya, Tari Ranup Lampuan adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini Aceh. Ia bukan hanya pertunjukan yang indah secara estetis, tetapi juga representasi nilai-nilai yang menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakatnya: penghormatan, keramahtamahan, dan keanggunan. Selama nilai-nilai tersebut masih dijunjung, tarian ini akan terus hidup berkembang tanpa kehilangan roh tradisinya.(ADV)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *